Rabu, 28 September 2011

Strukturalisme Genetik


Strukturalisme Genetik

Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia, yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawks dalam Suwondo, 2001: 55-56). Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya. Dalam kesatuan hubungan tersebut, setiap unsur atau analisirnya tidak memiliki maknanya sendiri-sendiri, kecuali hubungan dengan analisir lain sesuai dengan posisinya di dalam struktur.
Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme murni yang anti historis dan kausal. Pendekatan strukturalisme juga dinamakan sebagai pendekatan objektif. Menyikapi yang demikian, Iswanto pernah mengutip pendapat Juhl (2001: 62) penafsiran terhadap karya sastra yang menafikan pengarang sebagai pemberi makna sangat berbahaya pemberian makna, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas , kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang dianut oleh pengarang. Secara gradual dapat dikatakan bahwa jika penafsiran itu menghilangkan pengarang dengan segala eksistensinya di dalam jajaran signifikan penafsiran. Objektifitas penafsiran sebuah karya sastra akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca di dalam penafsiran karya sastra.
Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman, seorang sastrawan yang berasal dari Perancis. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini mengoreksi pendekatan strukturalisme otonom dengan memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Genetik diartikan sebagai asal-usul karya sastra yang meliputi pengarang dan realita sejarah yang turut mendukung penciptaan karya sastra tersebut.
Kajian strukturalisme genetik ini, menggunakan data primer yang dimiliki oleh sebuah karya sastra. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah pustaka-pustaka yang ada relevansinya dengan kajian terhadap karya, yakni: karya fiksi dan nonfiksi, berbagai tulisan mengenai karya, dan usulan mengenai  karya serta buku-buku referensi yang dapat mendukung kajian terhadap karya. Menurut Faruk (2003: 12), Goldmann percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Sebagai struktur, karya sastra berarti tidak berdiri sendiri, banyak hal yang menyokong agar karya tersebut bisa menjadi satu bangunan yang otonom. Namun, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan lebih dulu mengaitkan dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur bukanlah suatu hal yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang terus berlangsung. Strukturalisme genetik mencoba mengaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial.
Ratna (2006:122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna. Setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas. Demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya. Untuk menghasilkan sebuah totalitas, Goldmann menawarkan metode dialektik yang pada prinsipnya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak mengintegrasikannya kedalam keseluruhan.
Menurut Goldmann (1977:8), metode dialektik termasuk metode yang khas, sehingga berbeda dengan metode positivistik. Metode positivistik menitikberatkan pada usaha pencarian hubungan antara sastra dengan faktor iklim, geografis, filsafat, dan politik. Sastra diperlukan sebagai fakta yang statusnya sama dalam penelitian ilmiah (Damono, 1984:18). Metode ini tidak mengadakan penelitian terhadap karya yang digunakan sebagai data. Karya dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosiokultural. Setiap unsur di dalamnya dianggap mewakili secara langsung unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Metode dialektik hanya mempergunakan karya yang bernilai sastra, karya yang kuat karena keseluruhan karya itu membentuk jaringan yang kohesif dari segala unsurnya. Yang berhubungan dengan unsur sosiokultural adalah keseluruhan unsur sebagai satu kesatuan (Junus, 1986:2). Namun, harus diakui bahwa dari segi titik awal dan titik akhir metode dialektik sama dengan metode positivistik, karena keduanya sama-sama berawal dan berakhir pada teks sastra. Adapun dalamnya dianggap mewakili secara langsung unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Adapun perbedaannya selain yang telah disebutkan di atas, metode positivistik tidak mempertimbangkan koherensi struktural, sedangkan metode dialektik memperhitungkan koherensi struktural itu (Goldman via Faruk, 1994:19). Bentuk operasional (cara kerja) metode dialektik yaitu secara bolak-balik antara teks dengan struktur sosial yang diteliti. Hal ini terjadi karena proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus tanpa bisa diketahui titik dalamnya dianggap mewakili secara langsung unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Metode dialektik hanya mempergunakan karya yang bernilai sastra, karya yang kuat karena keseluruhan karya itu membentuk jaringan yang kohesif dari segala unsurnya. Yang berhubungan dengan unsur sosiokultural adalah keseluruhan unsur sebagai satu kesatuan (Junus, 1986:2). Namun, harus diakui bahwa dari segi titik awal dan titik akhir metode dialektik sama dengan metode positivistik, karena keduanya sama-sama berawal dan berakhir pada teks sastra.
Bentuk operasional (cara kerja) metode dialektik yaitu secara bolak-balik antara teks dengan struktur sosial yang diteliti. Hal ini terjadi karena proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus tanpa bisa diketahui titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk 1994:20).

Struktur Karya Sastra
Goldman mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya, yang pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner.  Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Dari dua pendapatnya itu, Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik, yang memusatkan perhatian pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan demikian, Goldmann membedakan teks sastra dengan filsafat yang mengungkapkan pandangan dunia secara konseptual dan sosilogi yang mengekspresikan pandangan dunia secara empirisitas.
Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann itu terlihat pula pada konsepnya mengenai novel.  Berkaitan dengan pentingnya pendekatan strukturalisme genetik, Goldmann mengkaji dua hal yang dianggapnya saling bersangkutan, yakni cara meneliti novel (baca: teks sastra) itu sendiri dan hubungannya dengan sosio-budaya.

Pandangan Dunia
Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang, dan dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dalam rangka strukturalisme genetik, pandangan dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi mayarakat. Menurut Goldmann via Faruk (1999:15), pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lainnya. Selain itu, pandangan dunia juga merupakan kesadarn kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.

Penelitian dengan Metode Strukturalisme Genetik
Secara sederhana pendekatan strukturalisme genetik diformulasikan sebagai berikut. Pertama difokuskan pada kajian intrinsik karya sastra, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Kedua, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang, karena ia adalah suatu bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang ikut mengondisikan terciptanya karya sastra. Dari ketiga cara tersebut akan diperoleh abstraksi pandangan dunia pengarang yang diperjuangkan oleh tokoh problematik.
Sapardi Djoko Damono memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik sebagai suatu metode, yaitu:
1)      Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah bagian-bagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian itu, yang menyatukannya menjadi totalitas.
2)       Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya, tetapi hanya bukti adanya struktur.
3)      Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan struktural yang ada.
4)      Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat. Mereka menggunakan hukum perubahan bentuk.

Langkah-langkah penelitian dengan metode strukturalisme genetik yang ditawarkan oleh Laurenson dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman:
1.   Penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula diteliti strukturnya untuk membuktikan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
2.   Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra yang dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang dihubungkan dengan dunia pengarang.
3.   Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.

Pendekatan strukturalisme genetik memiliki nilai yang lebih daripada strukturalisme strukturalisme otonom. Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa selain menelaah struktur pembangun karya dari dalam, apresiator harus memasukkan faktor-faktor dari luar. Dengan ini diharapkan akan timbul sebuah kesadaran bahwa karya sastra diciptakan oleh pengarang dengan memadukan antara kreativitas dan faktor imajinasi yang tentunya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.


Daftar Pustaka

Irfan Fauzi, Arif. 2008. Strukturalisme Genetik. Dalam http://bahasa-sastra-indonesia.blogspot.com/2008/04/strukturalisme-genetik.html diunduh tanggal 08 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar