Minggu, 05 Desember 2010

Gagak Hitam

Malam ini sunyi, sama seperti kemarin. Hanya nisan dan kamboja putih yang menemaniku. Angin menyapu bulu halusku, membuatku kedinginan. Ku kepakkan sayap, terbang menuju ke sebuah nisan yang masih baru, yang tanahnya masih merah, yang masih berselimut kembang tujuh rupa.
Kemarin sore kulihat banyak orang yang berpakaian serba hitam, menggotong aebuah keranda, membawa bangkai manusia ini. Entahlah mengapa mereka menangisi orang mati itu. Padahal si mati itu saja tak meminta mereka untuk menangisinya, atau bahkan tak sudi ditangisi oleh mereka. Mungkin, aku hanya menerka-nerka.
Aku melihat sendiri, ketika si mati ini sedang sekarat. Bagaimana susahnya ia melepas raga yang melekat, sungguh aku sendiri sampai merinding dibuatnya. Kudengar si mati ini sangatlah kaya, namun ia begitu kikir, susah berpisah dengan harta pusakanya. Setiap hari kerjanya hanya memikirkan bagaimana cara untuk menambah harta bendanya. Tak pernah memikirkan yang lain, hanya harta teman hidupnya. Mungkin ketika ajal itu datang, ia masih belum siap berpisah dengan harta-hartanya, sehingga membuat susah kematiannya.
Namun apa yang ia bawa sekarang, hanya selembar kain kafan. Segala harta yang ia kumpulkan semasa hidup tak bisa ia bawa. Tak bisa membahagiakan dirinya. Karena uang tidak bisa membeli sorga. Hanya iman dan pahala yang membuat orang bahagia di alam bakha.
Aku suka melihat manusia dengan segala keanehan dan keajaiban menjelang ajal mereka. Kau mungkin akan berpikir aku ini aneh. Entahlah, aku juga tak tahu kenapa aku menyukai hal itu. Mungkin karena keanehan ini aku mendapat julukan “Malaikat Maut”. Tapi sesungguhnya itu tidaklah benar, karena aku hanya seekor gagak hitam yang menyukai kematian dan ajal.

Kisah Seorang Haji-hajian

Dipagi yang masih kepagian
orang-orang sudah bangun dibangunkan
tak terkecuali seorang haji-hajian
yang bergaya sombong dengan penuh keangkuhan
Pelit adalah sifat yang dinomor 1-kan
sebab baginya, uang membuat orang lebih dipandang
kekayaan sangat banyak, namun iman masih dipertanyakan
sebab kerjanya hanya keluyuran
tidak pagi, tidak malam
Dia masih saja santai
karena mungkin belum ketahuan
oleh istrinya yang sangat pendiam
tapi mana tahu di belakang

Mungkin hanya itu yang bisa ku ceritakan
kisah tentang seorang haji-hajian

Nb: teruntuk “Om Haji yang Baik Hati”

Jerit Terakhir Sang Tanah

Aku keriput lagi
Berkerut, kering, dan rapuh
Menjelma sahara gurun pasir

Aku keriput lagi
Karena sekarang musim panas
Surya bersinar lebih pekat

Aku keriput lagi
Apa mungkin aku sudah menopause?
Tak subur lagi??

Aku keriput lagi
Mungkin tuk yang terakhir kali
Karena besok aku tak akan terlihat lagi
Sebuah pabrik akan berdiri di sini

Kisah Kakek dan Cucunya

Seperti biasa, lelaki tua itu duduk di teras rumahnya
ditemani secangkir kopi pahit
dan selinting tembakau dengan balutan daun kawung kering
tak lupa sepiring gorengan pisang yang masih hangat

Diteguknya kopi hitam itu
melewati kerongkongannya yang kering keriput
Mendengar kicauan burung gereja di tengah sawah
menikmati sejuknya udara pagi

Cucunya yang masih kecil datang mendekat
bermanja-manja dengan melemparkan senyum manisnya
membuat lelaki tua itu geli dan ikut tersenyum juga
batuk sesekali menyelangi canda tawanya
mungkin karena sekarang ia sudah renta

Ya, itu adalah kisah seorang kakek dengan cucunya
yang selalu tertawa, membangkitkan pagi menjadi lebih bergelora
yang selalu menyambut pagi dengan canda dan tawa

Maaf

Beribu kesalahan yang kau buat
beribu kata maaf yang kau ucap
aku tetap bertahan
walau kau sakiti aku, lagi dan lagi…
secuil rasa dendam pun tak melekat di hatiku
tak ‘kan menggoyahkan rasa cintaku padamu
Ku ingat saat di mana kau ucapkan kata pisah
sungguh tak kuasa ku melepasmu
namun kau memaksa itu
ku coba untuk terima…
Tapi asal kau ingat
ku tak akan mengizinkanmu untuk pergi dari hatiku
kemana pun kau melangkah, hatimu berlabuh
kau akan mempunyai dua rumah
satunya adalah di hatiku
di hatiku
Maafkan aku, aku terlalu mencintaimu

Cilegon, 19/11/10