Makna Puisi Lonceng Tinju: Refleksi Realita dalam Sebuah Puisi
Oleh: Windi Eliyanti
Pendahuluan
Seorang penyair yang kreatif
niscaya berhadapan dengan realitas nyata, yakni realitas yang juga dihadapi
oleh orang-orang lain pada umumnya. Seorang penyair yang kreatif, dengan
demikian tidak berhadapan dengan angan-angan. Lebih dari itu, ia bahkan tidak
hanya menghadapi realitas, melainkan menghadapinya secara aktif, di mana jika
ia tidak berusaha mengubah realitas, sedikitnya mencoba menggali makna dari
padanya. Dalam kegiatan mengubah realitas atau menggali makna tersebut, seorang
kreatif menghasilkan karya-karyanya sesuai bidang yang digelutinya. Bagi
seorang penyair, sudah barang tentu yang dihasilkannya adalah sajak-sajak.
Seorang yang kreatif tidak akan menghasilkan apa yang pernah dihasilkan oleh
dirinya sendiri. Yang dihasilkan senantiasa kebaruan. Tidak ada pengulangan (Saini,1993: 22)
Hal baru itu hanya akan dihasilkan, jika penyair tersebut kreatif mengemas sebuah
realita ke dalam sebuah tulisan yang lebih berwarna. Seperti juga orang lain,
penyair melihat dunia yang dilihat orang lain, dunia kita bersama. Namun,
penyair melihatnya melalui kacamata kepribadiannya yang khas. Ia melihatnya
dengan pikiran dan perasaan subjektifnya. Pikiran dan perasaan subjektif
tersebut diungkapkannya melalui bahasa yang khas, yakni bahasa pribadinya
sendiri.
Menurut Saini (1993: 22-23),
kekhasan cara pandang terhadap realitas berjalan dengan dua cara. Pertama,
seorang penyair menemukan cara baru, sikap baru dan pendekatan baru terhadap
realitas yang selama ini dihadapi dan dikenalnya. Dalam cara pertama, penyair
menemukan sisi baru dari kehidupan yang menarik perhatian dan gairahnya.
Seorang penyair yang terus-menerus merenungkan hubungannya dengan Tuhan, pada
masa-masa sebelumnya, boleh jadi pada suatu saat perhatiannya berbelok pada
keindahan alam, keadilan dan ketidakadilan sosial, cinta pria-wanita, nasib
manusia secara keseluruhan, masalah-masalah aktual seperti bahaya nuklir,
tercemarnya lingkungan, dan sebagainya. Sudah barang tentu sisi realitas tersebut pada
kenyataannya tumpah tindih. Namun, penyair tersebut menggeser tekanan
perhatiannya, dari satu sisi ke sisi lain yang baginya baru. Siapa tahu,
dalam proses pergeseran tersebut ia berhasil menciptakan sajak-sajak bermutu.
Pada peristiwa (cara) kedua,
penyair tidak mengubah sisi realitas yang menjadi pokok renungannya, melainkan
mengubah sikap terhadapnya. Ia mengambil titik berangkat dan arah yang baru,
hingga hasil pergulatannya dengan sisi realitas tersebut menjadi baru pula.
Memang agak sulit memberi
sekat antara penyair dan realita. Keduanya sama-sama memiliki pengaruh yang
besar dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, penulis mencoba menggali
makna realita dengan mengabaikan unsur keterlibatan pengarang, terhadap puisi
karya Taufiq Ismail yang berjudul ”Lonceng Tinju” dalam kumpulan puisi Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia (1987), yakni dengan menggunakan pendekatan mimesis.
Pembahasan
Taufiq Ismail adalah kritikus dan praktisi
yang tajam. Lontaran kritiknya sering membuat orang terpana. Orang seperti
sering ditepuk-diingatkan. Ketika pertandingan tinju menjadi idola masyarakat,
Taufiq Ismail menulis tiga puisi Lupa Aku Nomor Teleponnya, Lonceng
Tinju dan Tak Tahan Aku Menatap Sinar Matamu (dalam artikel “Melacak
Jejak Pemikiran Taufiq Ismail bagi Pendidikan Indonesia”, Slamet Samsoerizal).
Dari ketiga puisi tersebut penulis akan ‘mengupas’ makna puisi “Lonceng Tinju”
dengan menggunakan pendekatan mimesis. Berikut kutipan puisinya secara lengkap.
Lonceng
Tinju
Setiap
kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berkleneng
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.
(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, 1987: 127)
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berkleneng
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.
(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, 1987: 127)
Jika kita baru membaca puisi
ini untuk pertama kalinya, mungkin kita akan kesulitan mengartikan makna
sebenarnya dari puisi ini, tapi kita akan memahimanya setelah kita membaca
puisi ini berulang-ulang, inilah yang dinamakan puisi prismatis. Kekhasan bahasa dalam setiap lariknya, membuat
puisi ini menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan
hubungan puisi dengan realitas objektif ketika puisi ini tercipta.
Pada bait kesatu, larik
pertama sampai kedua menampilkan refleksi tentang peristiwa yang terjadi jika
kita berada dalam sebuah pertandingan tinju. Terdapat pelompatan larik
(enjabemen), yaitu dari larik pertama ke larik kedua, larik ketiga ke larik
keempat, ke larik kelima, dan ke larik keenam. Pemilihan diksi pada larik
pertama tampak enak didengar terutama pada kata ’lonceng berkleneng’, dengan
persamaan bunyi ’ng’ pada akhir setiap katanya. Rima a-a juga terdapat pada
larik kelima dan keenam.
Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Pada bait kedua, larik
pertama sampai ketiga juga merupakan refleksi realita dari sebuah pertandingan
tinju. Bunyi ’lonceng berkleneng’ juga kita temui pada larik pertama, bait
kedua ini. Enjabemen terjadi pada
larik pertama ke larik kedua dan selanjutnya ke larik ketiga. Rima pada larik
kedua dan ketiga sama yaitu diakhiri dengan bunyi ’an’.
Setiap lonceng berkleneng
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Mengacu pada alasan
munculnya pendekatan mimesis, Hasanudin (2009: 142) beranggapan bahwa tidak ada
penciptaan yang betul-betul terlepas dari sumbernya. Setiap hasil kreasi
manusia hanyalah merupakan penyempurnaan atau pelahiran kembali dalam bentuk
yang baru. Oleh karena itu, tidaklah tepat membiarkan puisi sebagai ciptaan
manusia dianggap sebagai sesuatu yang terlepas dari kenyataan sebagai
sumbernya.
Terkait hal itu, jika
dilihat dari tahun pembuatan, puisi ”Lonceng tinju” dipublikasikan dalam antologi
puisi MAJOI, pada tahun 1987. Pada saat itu, masyarakat Indonesia sedang
’gila-gila’nya terhadap pertandingan tinju. Euforia tersebut makin
menjadi-jadi, terlebih ketika ada pertandingan tinju kelas dunia antara Ellyas
Pical melawan Mike Phelps di Singapura, diakhiri dengan kemenangan angka oleh
Pical. Ditambah lagi, setelah itu ada pertandingan antara Mike Tyson melawan
Frank Bruno di Las Vegas, Amerika Serikat, dengan Mike Tyson keluar sebegai
juaranya setelah menaklukan Bruno pada ronde kelima.
Kegemaran masyarakat (modern) terhadap tinju yang
begitu menggebu itu, membuat Taufiq Ismail prihatin sekaligus geram. Ia ingin
mengingatkan masyarakat, jika tinju yang diistilahkannya dengan ‘adu manusia’
tidak saja mebuat seseorang menjadi kecut, namun menimbulkan penyesalan bagi
sang petinju sendiri. Setelah pertandingan adu manusia, salah satu dari mereka
mungkin terkena KO (Knock Out) jatuh terkapar, pingsan, terkena parkinson,
koma bahkan banyak juga yang akhirnya meninggal dunia dengan batok kepala yang
remuk akibat dihujani bertubi-tubi kepalan sang lawan.
Penutup
Melihat penjabaran di atas,
kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam penciptaan sebuah karya
sastra, dalam hal ini puisi, tidak akan lepas dari hubungan kausalitasnya
dengan realita yang terjadi. Seperti yang pendapat Hasanudin (2009: 129)
mengenai pendekatan mimesis, yaitu pendekatan yang berasumsi bahwa setelah
menyelidiki karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu
dihubung-hubungkan hasil temuan itu dengan realita objektif. Terkait hal ini, Taufiq
Ismail menciptakan sebuah puisi yang merupakan refleksi realita dari masyarakat
Indonesia yang gemar terhadap tinju waktu itu.
Daftar
Bacaan
K. M., Saini. 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit ITB.
Kinayati dan Noldy. 2009. Teori dan Pemahaman: Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Novrianto, Rudi. 1989. Pical Belum Goyah. Dalam http://www.tempointeractive.com/
hg/mbmtempo/arsip/1989/03/04/OR/mbm.19890304.or2.id.html. Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2011.
Samsoerizal, Slamet. 2008. Melacak Jejak
Pemikiran Taufiq Ismail bagi Pendidikan Indonesia. Dalam samsoerizal.wordpress.com/.../melacak-jejak-pemikiran-taufiq-ismail-ismail-bagi-pendidikan-indonesia. Diunduh pada tanggal 31 Oktober
2011.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wikipedia. Tanpa tahun. Mike Tyson. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Mike_Tyson.
Diunduh pada tanggal 31 Oktober
2011.
WS., Hasanudin. 2009. Drama: Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung.