Minggu, 06 November 2011

Analisis Puisi

Makna Puisi Lonceng Tinju: Refleksi Realita dalam Sebuah Puisi
Oleh: Windi Eliyanti

Pendahuluan
Seorang penyair yang kreatif niscaya berhadapan dengan realitas nyata, yakni realitas yang juga dihadapi oleh orang-orang lain pada umumnya. Seorang penyair yang kreatif, dengan demikian tidak berhadapan dengan angan-angan. Lebih dari itu, ia bahkan tidak hanya menghadapi realitas, melainkan menghadapinya secara aktif, di mana jika ia tidak berusaha mengubah realitas, sedikitnya mencoba menggali makna dari padanya. Dalam kegiatan mengubah realitas atau menggali makna tersebut, seorang kreatif menghasilkan karya-karyanya sesuai bidang yang digelutinya. Bagi seorang penyair, sudah barang tentu yang dihasilkannya adalah sajak-sajak. Seorang yang kreatif tidak akan menghasilkan apa yang pernah dihasilkan oleh dirinya sendiri. Yang dihasilkan senantiasa kebaruan. Tidak ada pengulangan (Saini,1993: 22)
Hal baru itu hanya akan dihasilkan,  jika penyair tersebut kreatif mengemas sebuah realita ke dalam sebuah tulisan yang lebih berwarna. Seperti juga orang lain, penyair melihat dunia yang dilihat orang lain, dunia kita bersama. Namun, penyair melihatnya melalui kacamata kepribadiannya yang khas. Ia melihatnya dengan pikiran dan perasaan subjektifnya. Pikiran dan perasaan subjektif tersebut diungkapkannya melalui bahasa yang khas, yakni bahasa pribadinya sendiri.
Menurut Saini (1993: 22-23), kekhasan cara pandang terhadap realitas berjalan dengan dua cara. Pertama, seorang penyair menemukan cara baru, sikap baru dan pendekatan baru terhadap realitas yang selama ini dihadapi dan dikenalnya. Dalam cara pertama, penyair menemukan sisi baru dari kehidupan yang menarik perhatian dan gairahnya. Seorang penyair yang terus-menerus merenungkan hubungannya dengan Tuhan, pada masa-masa sebelumnya, boleh jadi pada suatu saat perhatiannya berbelok pada keindahan alam, keadilan dan ketidakadilan sosial, cinta pria-wanita, nasib manusia secara keseluruhan, masalah-masalah aktual seperti bahaya nuklir, tercemarnya lingkungan, dan sebagainya. Sudah barang tentu sisi realitas tersebut pada kenyataannya tumpah tindih. Namun, penyair tersebut menggeser tekanan perhatiannya, dari satu sisi ke sisi lain yang baginya baru. Siapa tahu, dalam proses pergeseran tersebut ia berhasil menciptakan sajak-sajak bermutu.
Pada peristiwa (cara) kedua, penyair tidak mengubah sisi realitas yang menjadi pokok renungannya, melainkan mengubah sikap terhadapnya. Ia mengambil titik berangkat dan arah yang baru, hingga hasil pergulatannya dengan sisi realitas tersebut menjadi baru pula.
Memang agak sulit memberi sekat antara penyair dan realita. Keduanya sama-sama memiliki pengaruh yang besar dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, penulis mencoba menggali makna realita dengan mengabaikan unsur keterlibatan pengarang, terhadap puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul ”Lonceng Tinju” dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1987), yakni dengan menggunakan pendekatan mimesis.

Pembahasan
Taufiq Ismail adalah kritikus dan praktisi  yang tajam. Lontaran kritiknya sering membuat orang terpana. Orang seperti sering ditepuk-diingatkan. Ketika pertandingan tinju menjadi idola masyarakat, Taufiq Ismail menulis tiga puisi Lupa Aku Nomor Teleponnya, Lonceng Tinju dan Tak Tahan  Aku Menatap Sinar Matamu (dalam artikel “Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail bagi Pendidikan Indonesia”, Slamet Samsoerizal). Dari ketiga puisi tersebut penulis akan ‘mengupas’ makna puisi “Lonceng Tinju” dengan menggunakan pendekatan mimesis. Berikut kutipan puisinya secara lengkap.
Lonceng Tinju
Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian

Setiap lonceng berkleneng
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”

Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.

(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, 1987: 127)

Jika kita baru membaca puisi ini untuk pertama kalinya, mungkin kita akan kesulitan mengartikan makna sebenarnya dari puisi ini, tapi kita akan memahimanya setelah kita membaca puisi ini berulang-ulang, inilah yang dinamakan puisi prismatis. Kekhasan bahasa dalam setiap lariknya, membuat puisi ini menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan hubungan puisi dengan realitas objektif ketika puisi ini tercipta.
Pada bait kesatu, larik pertama sampai kedua menampilkan refleksi tentang peristiwa yang terjadi jika kita berada dalam sebuah pertandingan tinju. Terdapat pelompatan larik (enjabemen), yaitu dari larik pertama ke larik kedua, larik ketiga ke larik keempat, ke larik kelima, dan ke larik keenam. Pemilihan diksi pada larik pertama tampak enak didengar terutama pada kata ’lonceng berkleneng’, dengan persamaan bunyi ’ng’ pada akhir setiap katanya. Rima a-a juga terdapat pada larik kelima dan keenam.
Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya

Pada bait kedua, larik pertama sampai ketiga juga merupakan refleksi realita dari sebuah pertandingan tinju. Bunyi ’lonceng berkleneng’ juga kita temui pada larik pertama, bait kedua ini. Enjabemen terjadi pada larik pertama ke larik kedua dan selanjutnya ke larik ketiga. Rima pada larik kedua dan ketiga sama yaitu diakhiri dengan bunyi ’an’.
Setiap lonceng berkleneng
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan

Mengacu pada alasan munculnya pendekatan mimesis, Hasanudin (2009: 142) beranggapan bahwa tidak ada penciptaan yang betul-betul terlepas dari sumbernya. Setiap hasil kreasi manusia hanyalah merupakan penyempurnaan atau pelahiran kembali dalam bentuk yang baru. Oleh karena itu, tidaklah tepat membiarkan puisi sebagai ciptaan manusia dianggap sebagai sesuatu yang terlepas dari kenyataan sebagai sumbernya.
Terkait hal itu, jika dilihat dari tahun pembuatan, puisi ”Lonceng tinju” dipublikasikan dalam antologi puisi MAJOI, pada tahun 1987. Pada saat itu, masyarakat Indonesia sedang ’gila-gila’nya terhadap pertandingan tinju. Euforia tersebut makin menjadi-jadi, terlebih ketika ada pertandingan tinju kelas dunia antara Ellyas Pical melawan Mike Phelps di Singapura, diakhiri dengan kemenangan angka oleh Pical. Ditambah lagi, setelah itu ada pertandingan antara Mike Tyson melawan Frank Bruno di Las Vegas, Amerika Serikat, dengan Mike Tyson keluar sebegai juaranya setelah menaklukan Bruno pada ronde kelima.
Kegemaran masyarakat (modern) terhadap tinju yang begitu menggebu itu, membuat Taufiq Ismail prihatin sekaligus geram. Ia ingin mengingatkan masyarakat, jika tinju yang diistilahkannya dengan ‘adu manusia’ tidak saja mebuat seseorang menjadi kecut, namun menimbulkan penyesalan bagi sang petinju sendiri. Setelah pertandingan adu manusia, salah satu dari mereka mungkin terkena KO (Knock Out) jatuh terkapar, pingsan, terkena parkinson, koma bahkan banyak juga yang akhirnya meninggal dunia dengan batok kepala yang remuk akibat dihujani bertubi-tubi kepalan sang lawan.

Penutup
Melihat penjabaran di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam penciptaan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi, tidak akan lepas dari hubungan kausalitasnya dengan realita yang terjadi. Seperti yang pendapat Hasanudin (2009: 129) mengenai pendekatan mimesis, yaitu pendekatan yang berasumsi bahwa setelah menyelidiki karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu dihubung-hubungkan hasil temuan itu dengan realita objektif. Terkait hal ini, Taufiq Ismail menciptakan sebuah puisi yang merupakan refleksi realita dari masyarakat Indonesia yang gemar terhadap tinju waktu itu.

Daftar Bacaan
K. M., Saini. 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit ITB.
Kinayati dan Noldy. 2009. Teori dan Pemahaman: Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Novrianto, Rudi. 1989. Pical Belum Goyah. Dalam http://www.tempointeractive.com/ hg/mbmtempo/arsip/1989/03/04/OR/mbm.19890304.or2.id.html. Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2011.
Samsoerizal, Slamet. 2008. Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail bagi Pendidikan Indonesia. Dalam samsoerizal.wordpress.com/.../melacak-jejak-pemikiran-taufiq-ismail-ismail-bagi-pendidikan-indonesia. Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2011.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wikipedia. Tanpa tahun. Mike Tyson. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Mike_Tyson. Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2011.
WS., Hasanudin. 2009. Drama: Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung.