Logika dan Ilmu Pengetahuan Manusia
Sebagai
Bagian dari Filsafat
Oleh
: Windi Eliyanti
Pendahuluan
Logika, penalaran dan pengetahuan
merupakan ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain seperti hewan
dan tumbuhan. Dengan logika, manusia bisa menentukan apakah sesuatu itu
bersifat masuk akal atau tidak. Kemudian dengan penalaran, manusia mampu
menyusun pengetahuan yang dimilikinya. Dari ketiga hal ini, manusia mampu
memilih dan membedakan antara positif dan negatif, benar dan salah, serta mana
yang baik dan yang buruk. Kita sebagai manusia tentu sangat membutuhkan
pengetahuan yang dapat diandalkan. Sebab hal tersebut dapat membawa kita kepada
penelaahan mengenai kemampuan manusia mana yang dapat membawa kita kepada
pengetahuan yang benar. Dari kemampuan yang saling berkaitan antara logika dan
penalaran, manusia dapat mencapai sebuah kemakmuran melalui pengetahuan.
Disini sudah jelas terlihat bahwa
manusia merupakan makhluk paling sempurna diantara makhluk lainnya. Sebab jika
manusia hidup tanpa dibekali logika dan penalaran, tentu manusia tidak akan
mampu menemukan pengetahuan-pengetahuan seperti sekarang ini. Dan mungkin tidak
ada gedung-gedung pencakar langit yang berdiri dengan angkuh di tengah kota
megapolitan ini. Kenyataan yang terjadi sekarang ini adalah pengetahuan
sepertinya telah membodohi manusia. Kenapa membodohi? Ya, karena manusia telah
diperbudak oleh pengetahuan itu. Sebagai bukti, lihatlah sampah-sampah yang
meninggi bak gunung yang jika hujan datang akan menimbulkan banjir. Lihat pula
hutan-hutan yang telah menggundul karena nafsu manusia yang menebang pohon
secara membabi-buta tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya. Ironis memang,
namun itulah kenyataannya. Manusia seolah lupa dengan karunia yang telah ada
padanya. Bukannya merawat kekayaan yang ada, manusia malah merusak dan membuat
bencana dengan segala kemampuan yang dimiliki.
Namun, pengetahuan tak selalu beranggapan
dan berdampak negatif. Sebagai contoh kita lihat diri kita masing-masing. Jika
tanpa adanya pengetahuan, mungkin kita tak akan mengecap pendidikan seperti
sekarang ini. Pelajaran-pelajaran yang kita terima sepanjang pendidikan dasar
hingga tingkat perguruan tinggi ini merupakan pengetahuan-pengetahuan yang
menambah wawasan kita sebagai pelajar. Namun, apakah kesadaran untuk peduli
pada lingkungan sekitar akan tetap terus berjalan seperti ini. Bukankah manusia
dibekali dengan logika dan pengetahuan? Apakah manusia tidak berfikir
menggunakan logika dan pengetahuan yang dimiliki?
Kembali lagi ke logika dan
pengetahuan. Jika kita menghubungkan kedua hal ini dengan filsafat berarti kita
memberi pertanyaan kepada diri sendiri yaitu: Apakah logika itu? Bagaimana
kaitan antara logika dan filsafat? Serta apa pula pengetahuan itu? Apakah ada hubungan
antara logika dan pengetahuan?
Logika
Logika berasal dari kata Yunani
Kuno logos yang berarti hasil pertimbangan
akal pikian yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika
merupakan cabang filsafat yang yang berpangkal pada penalaran atau asas
berpikir yang lurus, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai
sarana ilmu. Selain itu, logika juga memegang peranan penting dalam berpikir
ilmiah. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah adalah logis
bila ditinjau secara empiris. Untuk menentukan apakah yang kita nyatakan itu
logis atau tidak, serta apakah yang diterima pancaindera kita sesuai dengan
kenyataan empiris atau tidak, maka perlu prosedur penalaran dalam penarikan
kesimpulan yang sahih. Dalam buku Menguak Cakrawala Keilmuan karangan Prof. Dr.
Ir. Jujun S. Suriasumantri, prosedur inilah yang disebut logika.
Pertama kali, logika dikembangkan
oleh filsuf Aristoteles (384-322SM) dan masih digunakan sampai saat ini, yaitu
sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran
dari setiap kekeliruan. Selanjutnya banyak penelitian-penelitian yang dilakukan
untuk melengkapi perkembangan dari pengetahuan tentang logika. Sebagai ilmu,
logika disebut dengan logika episteme
atau ilmu logika (ilmu pengetahuan)
yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Disini, ilmu mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui kecakapan dan
kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan.
Logika dan penalaran bagai dua
sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Keduanya berhubungan dan saling
berkaitan satu sama lain. Penalaran merupakan aktivitas berpikir secara teratur
dengan suatu pola tertentu. Namun tidak semua aktivitas berpikir besifat nalar.
Penalaran dalam kegiatan kelimuan ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Untuk itu maka penalaran harus menggunakan pola pikir teretentu dan
memerlukan ‘alat’ yang dapat membantu menemukan kebenaran. Alat itu tidak lain
adalah logika yang mencakup logika deduktif dan logika induktif. Pada dasarnya
logika dibagi menjadi dua kategori yaitu logika deduktif dan logika induktif.
Logika deduktif banyak berperan dalam menilai keabsahan pernyataan yang
berkaitan dengan pemikiran rasional sedangkan logika induktif banyak berperan
dalam observasi fakta empiris.
Logika induktif membantu menarik
kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus individual. Sedangkan logika
deduktif menggunakan cara penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat
umum menjadi pernyataan yang bersifat khusus. Sebagai analogi untuk memudahkan
mengingat perbedaan ini, coba ingat kembali pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam
pelajaran tersebut ada jenis paragraf deduktif dan paragraf induktif. Artinya
kurang lebih hampir sama, yaitu pola umum-khusus dan khusus-umum.
Kepercayaan merupakan dasar bagi
semua pengetahuan yang diperoleh manusia selama menjalankan kehidupan. Kita
menggunakan logika karena kita percaya bahwa logika akan membawa pada
kesimpulan yang benar. Proses penarikan kesimpulan yang sahih dengan
menggunakan pernyataan-pernyataan yang benar akan membawa kita pada kebenaran
(logika deduktif).
Secara umum filsafat abad
pertengahan memiliki pemahaman yang menarik tentang konsep bahasa dan logika. Bahasa
mempunyai fungsi simbolik logis untuk menyampaikan informasi pengetahuan.
Bahasa itu sendiri merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat
komunikasi manusia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan E. J. Ashworth
(2006:73-96) “Language and Logic” dalam The Cambridge Companions to Medieval
Philosophy, pada masa abad pertengahan bahasa dan logika dianggap memiliki
tujuan yang jelas. Keduanya berfungsi untuk membentuk dan menyatakan kebenaran.
Sehingga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan yang baru. Kedua
konsep ini menimbulkan perdebatan antara dua filsuf besar pada masa itu, yakni
Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia
untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Namun Thomas Aquinas yang merupakan
seorang ahli retorika, sadar betul akan bahaya yang bisa ditimbulkan pengunaan
bahasa dalam menyembunyikan atau bahkan melenyapkan sebuah kebenaran.
Dalam kehidupan yang penuh dengan
aktivitas sehari-hari, bahasa memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui
komunikasi yang terjalin antar sesama manusia. Menurut Ashworth, bahasa tidak
dapat dilepaskan dari logika. Keduanya terikat dengan kebenaran, walaupun
dengan cara yang berbeda. Seorang filsuf Islam bernama Ibnu Sina pernah
berpendapat bahwa fungsi logika adalah untuk mengantarkan manusia dari apa yang
diketahui (known) menuju ‘apa yang tidak diketahui’ (the unknown). Artinya
logika mengantar manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang sebelumnya
tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia pada
kebenaran yang sesungguhnya.
Logika dalam filsafat abad
pertengahan berbeda dengan logika Aristoteles yang berkembang pada masa Yunani
Kuno. Pada masa abad pertengahan, logika yang berkembang tidak mengacu pada
struktur formal silogisme ala Aristoteles untuk bisa sampai pada kebenaran. Logika
yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu pada pemikiran
Neoplatonik yang melihat bahwa alam semesta bisa dipahami seluruhnya dengan
mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai levelnya yang paling tinggi. Pada masa
ini juga berkembang suatu konsep yang dikenal sebagai dialektika. Menurut
Ashworth, dalam arti umum dialektika adalah logika (logica), yang berasal dari
Yunani (logos) yang berarti kata-kata (word) atau akal budi (reason). Dalam
arti ini bisa juga disebut sebagai ilmu pengetahuan rasional (rational
science). Logika juga dapat dianggap sebagai alat untuk berfilsafat. Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat
bahwa logika dapat dilategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal
art). Logika juga dapat dikategorikan sebagai trivium bersama dengan retorika
dan grammar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa logika merupakan bagian dari
filsafat rasional (Ashworth:2006-80)
Pengetahuan
Manusia
diberkahi dengan berbagai kemampuan untuk hidup dan bertahan hidup. Dia
mempunyai akal untuk berpikir, hati
untuk merasa dan pancaindera untuk menangkap wujud yang ada di
sekelilingnya. Interaksi manusia dengan lingkungannya menghasilkan pengetahuan.
Dalam menyusun pengetahuan yang dimiliki, manusia berbeda dengan binatang.
Binatang mengembangkan pengetahuan yang khusus bagi kelangsungan hidupnya
sedangkan manusia menyusun pengetahuannya sebagai bagian dari kebudayaan.
Menurut
Koento Wibisono (1999) filsafat telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi
dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar dan
bercabang dengan subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang
filsafat yang menjadi asalnya tadi dan berkembang mandiri sesuai metodologinya
masing-masing. Oleh karena itu menurut Van Peursen (1985), ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang saling menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas
dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak
F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge is Power”, kita dapat
mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik
individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang
timbul menurut Koento Wibisono (1984) adalah bahwa ilmu yang satu erat
hubungannya dengan cabang ilmu lain serta semakin kaburnya garis batas antara
ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Lebih
lanjut Koento Wibisono dkk (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau
ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu
sebagai sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu
sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (pengetahuan).
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang
menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999),
yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau
dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi
antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat tidak dapat berkembang
dengan baik seperti sekarang ini jika terpisah dari ilmu, dan ilmu tidak dapat
tumbuh dengan baik tanpa adanya kritik dari filsafat. Seperti yang diungkapkan
Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman
persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan
persoalan-persoalan filsafat sehingga tidak mungkin memisahkan yang satu dari
yang lain.
Pada
tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada
dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan tersebut sejalan dengan sejarah ilmu
pengetahuan itu sendiri yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu
pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari
gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan
rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang
saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Penggolongan
tersebut dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Kimia, Biologi dan
Sosiologi. Penggolongan tersebut berdasarkan urutan tata jenjang, asas
ketergantungan dan ukuran kesederhanaan (The Liang Gie,1999). Sedangkan dalam
perkembangan pengetahuan ilmiah Auguste Comte membagi menjadi tiga tahap, yakni
tahap religius, metafisik, dan positif.
Pengetahuan dimulai dengan rasa
ingin tahu, dan ilmu merupakan pengetahuan (knowledge)
yang kita dapat sejak bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi seperti
sekarang ini. Hakikat manusia tidak pernah terlepas dari pemikiran manusia,
termasuk dalm bidang keilmuan. Ilmu dalam tahap perkembangannya yang paling
dewasa berubah menjadi “seni” berupa penerapan konsep keilmuan dengan
memperhatikan kondisi manusia yang dihadapi. Perhatian kepada manusia dan
nasibnya, pesan Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology,
haruslah merupakan perhatian utama dari semua ikhtiar teknis keilmuan.
Setiap pengetahuan apakah itu
agama, seni atau pengetahuan ilmiah mempunyai pikiran dasar kefilsafatan yang
dipergunakan untuk menyusun tubuh pengetahuannya. Demikian juga sebaliknya,
setiap cabang pengetahuan dapat dibedakan dari cabang-cabang pengetahuan
lainnya dari pikiran dasar kefilsafatan tersebut. Pikiran dasar kefilsafatan
yang terkait dengan rancang bangun suatu pengetahuan itu adalah ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ilmu dapat dicirikan dan dibedakan dari
pengetahuan lainnya oleh ontologi keilmuan, epistemologi keilmuan, dan
aksiologi keilmuan.
Logika
dan Ilmu Pengetahuan bagian dari Filsafat
Ilmu atau science diartikan
sebagai studi yang dapat di uji, dites, dan diverifikasikan. Kata science
diambil dari bahasa yunani scire yang berarti memahami –to know. Sejak awal
dimulainya wawasan ilmu ini telah sangat luas dikembangkan dan sangat
mempengaruhi kehidupan manusia. Dewasa ini semua cabang ilmu dapat diamati di
invetigasi dan mungkin menegmbangkan cabang ilmu lain yang dapat
diamati/dideteksi.
Pengetahuan pada hakikatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang segala sesuatu, termasuk ilmu.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak
turut memperkaya kehidupan kita. Sulit membayangkan apa yang terjadi jika
kehidupan yang berjalan sekarang ini tanpa adanya pengetahuan, sebab
pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam
benak kita.
Ilmu berniat mempelajari alam
sebagaimana adanya yang terbatas pada lingkup pengalaman kita. Pengalaman
dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan
sehari-hari yang dihadapi manusia. Untuk itu maka manusia mempelajari alam
sebagaimana adanya dan menarik
kesimpulan melalui pengamatan pancaindera dan penalaran akalnya.
Ilmu dan filsafat dimulai dengan
akal sehat sebab tak mempunyai landasan permulaan lain untuk berpijak. Tiap
peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa
logika. Manusia sebagai subjek pembanding antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Karena ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia dikaji menggunakan logika dan
data empiris yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Pengkajian ilmu pengetahuan
tersebut berlandaskan filsafat dan rasa ingin tahu.
Filsafat ilmu terapan meupakan
deskripsi dan penjelasan mengenai pengetahuan normatif dunia kelimuan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat ilmiah tentang pola pikir keilmuan, model
kerja ilmiah, saran berpikir ilmiah dan nilai etis yang terkait dengan kegiatan
keilmuan. Keempat bidang tersebut dianggap sebagai kesatuan yang tidak
terpisahkan. Filsafat ilmu terapan mengarahkan pandangannya kepada masalah
praktis dalam dunia ilmu dan masyarakat ilmiah.
Dalam upaya mendeskripsikan dan
menjelaskan bidang kajian tersebut diatas, filsafat ilmu terapan merujuk kepada
pokok pikiran kefilsafatan secara selektif yang bersifat relevan dengan
pengetahuan normatif dunia keilmuan tersebut.
Simpulan
Sebagaimana diketahui, ada banyak
pendapat mengenai definisi logika. Dalam pembahasan kali ini diambil kesimpulan
bahwa logika merupakan alat berupa prosedur yang membantu manusia untuk menarik
kesimpulan secara sahih. Logika juga diidentikkan dengan logis, akal, dan
penalaran. Logika sering dianggap sebagai cara untuk menyampaikan kebenaran
yang sudah tentu berasal dari filsafat. Dan sudah tentu apabila logika didukung
dengan adanya ilmu pengetahuan, pasti manusia akan semakin kaya dengan
pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya. Sebab bagai dua sisi mata pisau,
apabila ilmu pengetahuan dan logika tidak berjalan seiring, maka hal tersebut
akan membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Cukuplah bencana-bencana yang
telah terjadi selama ini. Semoga manusia dengan akal pikiran dan pengetahuan
yang dimiliki dapat membawa dunia ke perubahan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Suriasumantri, Jujun S.(2010).Menguak Cakrawala Keilmuan Landasan
Filosofis Penulisan Tesis dan Disertasi, Pascasarjana UNJ.
Suriasumantri, Jujun S.(1978).Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Gramedia
Obor.
www.scribd.com
(dikutip tanggal 3 Januari 2011)
www.wikipedia.com
(diunduh tanggal 3 Januari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar