Selasa, 27 September 2011

Logika dan Ilmu Pengetahuan Manusia


Logika dan Ilmu Pengetahuan Manusia
Sebagai Bagian dari Filsafat
Oleh : Windi Eliyanti

Pendahuluan
Logika, penalaran dan pengetahuan merupakan ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Dengan logika, manusia bisa menentukan apakah sesuatu itu bersifat masuk akal atau tidak. Kemudian dengan penalaran, manusia mampu menyusun pengetahuan yang dimilikinya. Dari ketiga hal ini, manusia mampu memilih dan membedakan antara positif dan negatif, benar dan salah, serta mana yang baik dan yang buruk. Kita sebagai manusia tentu sangat membutuhkan pengetahuan yang dapat diandalkan. Sebab hal tersebut dapat membawa kita kepada penelaahan mengenai kemampuan manusia mana yang dapat membawa kita kepada pengetahuan yang benar. Dari kemampuan yang saling berkaitan antara logika dan penalaran, manusia dapat mencapai sebuah kemakmuran melalui pengetahuan.
Disini sudah jelas terlihat bahwa manusia merupakan makhluk paling sempurna diantara makhluk lainnya. Sebab jika manusia hidup tanpa dibekali logika dan penalaran, tentu manusia tidak akan mampu menemukan pengetahuan-pengetahuan seperti sekarang ini. Dan mungkin tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang berdiri dengan angkuh di tengah kota megapolitan ini. Kenyataan yang terjadi sekarang ini adalah pengetahuan sepertinya telah membodohi manusia. Kenapa membodohi? Ya, karena manusia telah diperbudak oleh pengetahuan itu. Sebagai bukti, lihatlah sampah-sampah yang meninggi bak gunung yang jika hujan datang akan menimbulkan banjir. Lihat pula hutan-hutan yang telah menggundul karena nafsu manusia yang menebang pohon secara membabi-buta tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya. Ironis memang, namun itulah kenyataannya. Manusia seolah lupa dengan karunia yang telah ada padanya. Bukannya merawat kekayaan yang ada, manusia malah merusak dan membuat bencana dengan segala kemampuan yang dimiliki.
Namun, pengetahuan tak selalu beranggapan dan berdampak negatif. Sebagai contoh kita lihat diri kita masing-masing. Jika tanpa adanya pengetahuan, mungkin kita tak akan mengecap pendidikan seperti sekarang ini. Pelajaran-pelajaran yang kita terima sepanjang pendidikan dasar hingga tingkat perguruan tinggi ini merupakan pengetahuan-pengetahuan yang menambah wawasan kita sebagai pelajar. Namun, apakah kesadaran untuk peduli pada lingkungan sekitar akan tetap terus berjalan seperti ini. Bukankah manusia dibekali dengan logika dan pengetahuan? Apakah manusia tidak berfikir menggunakan logika dan pengetahuan yang dimiliki?
Kembali lagi ke logika dan pengetahuan. Jika kita menghubungkan kedua hal ini dengan filsafat berarti kita memberi pertanyaan kepada diri sendiri yaitu: Apakah logika itu? Bagaimana kaitan antara logika dan filsafat? Serta apa pula pengetahuan itu? Apakah ada hubungan antara logika dan pengetahuan?
Logika
Logika berasal dari kata Yunani Kuno logos yang berarti hasil pertimbangan akal pikian yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika merupakan cabang filsafat yang yang berpangkal pada penalaran atau asas berpikir yang lurus, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Selain itu, logika juga memegang peranan penting dalam berpikir ilmiah. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah adalah logis bila ditinjau secara empiris. Untuk menentukan apakah yang kita nyatakan itu logis atau tidak, serta apakah yang diterima pancaindera kita sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak, maka perlu prosedur penalaran dalam penarikan kesimpulan yang sahih. Dalam buku Menguak Cakrawala Keilmuan karangan Prof. Dr. Ir. Jujun S. Suriasumantri, prosedur inilah yang disebut logika.
Pertama kali, logika dikembangkan oleh filsuf Aristoteles (384-322SM) dan masih digunakan sampai saat ini, yaitu sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Selanjutnya banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk melengkapi perkembangan dari pengetahuan tentang logika. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logika episteme atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Disini, ilmu mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui kecakapan dan kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan.
Logika dan penalaran bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Keduanya berhubungan dan saling berkaitan satu sama lain. Penalaran merupakan aktivitas berpikir secara teratur dengan suatu pola tertentu. Namun tidak semua aktivitas berpikir besifat nalar. Penalaran dalam kegiatan kelimuan ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Untuk itu maka penalaran harus menggunakan pola pikir teretentu dan memerlukan ‘alat’ yang dapat membantu menemukan kebenaran. Alat itu tidak lain adalah logika yang mencakup logika deduktif dan logika induktif. Pada dasarnya logika dibagi menjadi dua kategori yaitu logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif banyak berperan dalam menilai keabsahan pernyataan yang berkaitan dengan pemikiran rasional sedangkan logika induktif banyak berperan dalam observasi fakta empiris.
Logika induktif membantu menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus individual. Sedangkan logika deduktif menggunakan cara penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum menjadi pernyataan yang bersifat khusus. Sebagai analogi untuk memudahkan mengingat perbedaan ini, coba ingat kembali pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam pelajaran tersebut ada jenis paragraf deduktif dan paragraf induktif. Artinya kurang lebih hampir sama, yaitu pola umum-khusus dan khusus-umum.
Kepercayaan merupakan dasar bagi semua pengetahuan yang diperoleh manusia selama menjalankan kehidupan. Kita menggunakan logika karena kita percaya bahwa logika akan membawa pada kesimpulan yang benar. Proses penarikan kesimpulan yang sahih dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang benar akan membawa kita pada kebenaran (logika deduktif).
Secara umum filsafat abad pertengahan memiliki pemahaman yang menarik tentang konsep bahasa dan logika. Bahasa mempunyai fungsi simbolik logis untuk menyampaikan informasi pengetahuan. Bahasa itu sendiri merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan E. J. Ashworth (2006:73-96) “Language and Logic” dalam The Cambridge Companions to Medieval Philosophy, pada masa abad pertengahan bahasa dan logika dianggap memiliki tujuan yang jelas. Keduanya berfungsi untuk membentuk dan menyatakan kebenaran. Sehingga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan yang baru. Kedua konsep ini menimbulkan perdebatan antara dua filsuf besar pada masa itu, yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Namun Thomas Aquinas yang merupakan seorang ahli retorika, sadar betul akan bahaya yang bisa ditimbulkan pengunaan bahasa dalam menyembunyikan atau bahkan melenyapkan sebuah kebenaran.
Dalam kehidupan yang penuh dengan aktivitas sehari-hari, bahasa memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi yang terjalin antar sesama manusia. Menurut Ashworth, bahasa tidak dapat dilepaskan dari logika. Keduanya terikat dengan kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda. Seorang filsuf Islam bernama Ibnu Sina pernah berpendapat bahwa fungsi logika adalah untuk mengantarkan manusia dari apa yang diketahui (known) menuju ‘apa yang tidak diketahui’ (the unknown). Artinya logika mengantar manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia pada kebenaran yang sesungguhnya.
Logika dalam filsafat abad pertengahan berbeda dengan logika Aristoteles yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Pada masa abad pertengahan, logika yang berkembang tidak mengacu pada struktur formal silogisme ala Aristoteles untuk bisa sampai pada kebenaran. Logika yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu pada pemikiran Neoplatonik yang melihat bahwa alam semesta bisa dipahami seluruhnya dengan mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai levelnya yang paling tinggi. Pada masa ini juga berkembang suatu konsep yang dikenal sebagai dialektika. Menurut Ashworth, dalam arti umum dialektika adalah logika (logica), yang berasal dari Yunani (logos) yang berarti kata-kata (word) atau akal budi (reason). Dalam arti ini bisa juga disebut sebagai ilmu pengetahuan rasional (rational science). Logika juga dapat dianggap sebagai alat untuk berfilsafat.  Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat bahwa logika dapat dilategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal art). Logika juga dapat dikategorikan sebagai trivium bersama dengan retorika dan grammar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa logika merupakan bagian dari filsafat rasional (Ashworth:2006-80)
Pengetahuan
            Manusia diberkahi dengan berbagai kemampuan untuk hidup dan bertahan hidup. Dia mempunyai akal untuk berpikir, hati  untuk merasa dan pancaindera untuk menangkap wujud yang ada di sekelilingnya. Interaksi manusia dengan lingkungannya menghasilkan pengetahuan. Dalam menyusun pengetahuan yang dimiliki, manusia berbeda dengan binatang. Binatang mengembangkan pengetahuan yang khusus bagi kelangsungan hidupnya sedangkan manusia menyusun pengetahuannya sebagai bagian dari kebudayaan.
            Menurut Koento Wibisono (1999) filsafat telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar dan bercabang dengan subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafat yang menjadi asalnya tadi dan berkembang mandiri sesuai metodologinya masing-masing. Oleh karena itu menurut Van Peursen (1985), ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang saling menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
            Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984) adalah bahwa ilmu yang satu erat hubungannya dengan cabang ilmu lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
            Lebih lanjut Koento Wibisono dkk (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
            Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat tidak dapat berkembang dengan baik seperti sekarang ini jika terpisah dari ilmu, dan ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa adanya kritik dari filsafat. Seperti yang diungkapkan Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafat sehingga tidak mungkin memisahkan yang satu dari yang lain.
            Pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan tersebut sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Penggolongan tersebut dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Kimia, Biologi dan Sosiologi. Penggolongan tersebut berdasarkan urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan (The Liang Gie,1999). Sedangkan dalam perkembangan pengetahuan ilmiah Auguste Comte membagi menjadi tiga tahap, yakni tahap religius, metafisik, dan positif.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, dan ilmu merupakan pengetahuan (knowledge) yang kita dapat sejak bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi seperti sekarang ini. Hakikat manusia tidak pernah terlepas dari pemikiran manusia, termasuk dalm bidang keilmuan. Ilmu dalam tahap perkembangannya yang paling dewasa berubah menjadi “seni” berupa penerapan konsep keilmuan dengan memperhatikan kondisi manusia yang dihadapi. Perhatian kepada manusia dan nasibnya, pesan Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology, haruslah merupakan perhatian utama dari semua ikhtiar teknis keilmuan.
Setiap pengetahuan apakah itu agama, seni atau pengetahuan ilmiah mempunyai pikiran dasar kefilsafatan yang dipergunakan untuk menyusun tubuh pengetahuannya. Demikian juga sebaliknya, setiap cabang pengetahuan dapat dibedakan dari cabang-cabang pengetahuan lainnya dari pikiran dasar kefilsafatan tersebut. Pikiran dasar kefilsafatan yang terkait dengan rancang bangun suatu pengetahuan itu adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ilmu dapat dicirikan dan dibedakan dari pengetahuan lainnya oleh ontologi keilmuan, epistemologi keilmuan, dan aksiologi keilmuan.


Logika dan Ilmu Pengetahuan bagian dari Filsafat
Ilmu atau science diartikan sebagai studi yang dapat di uji, dites, dan diverifikasikan. Kata science diambil dari bahasa yunani scire yang berarti memahami –to know. Sejak awal dimulainya wawasan ilmu ini telah sangat luas dikembangkan dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Dewasa ini semua cabang ilmu dapat diamati di invetigasi dan mungkin menegmbangkan cabang ilmu lain yang dapat diamati/dideteksi.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang segala sesuatu, termasuk ilmu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak turut memperkaya kehidupan kita. Sulit membayangkan apa yang terjadi jika kehidupan yang berjalan sekarang ini tanpa adanya pengetahuan, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak kita.
Ilmu berniat mempelajari alam sebagaimana adanya yang terbatas pada lingkup pengalaman kita. Pengalaman dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari yang dihadapi manusia. Untuk itu maka manusia mempelajari alam sebagaimana  adanya dan menarik kesimpulan melalui pengamatan pancaindera dan penalaran akalnya.
Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai landasan permulaan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa logika. Manusia sebagai subjek pembanding antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia dikaji menggunakan logika dan data empiris yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Pengkajian ilmu pengetahuan tersebut berlandaskan filsafat dan rasa ingin tahu.
Filsafat ilmu terapan meupakan deskripsi dan penjelasan mengenai pengetahuan normatif dunia kelimuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat ilmiah tentang pola pikir keilmuan, model kerja ilmiah, saran berpikir ilmiah dan nilai etis yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keempat bidang tersebut dianggap sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Filsafat ilmu terapan mengarahkan pandangannya kepada masalah praktis dalam dunia ilmu dan masyarakat ilmiah.
Dalam upaya mendeskripsikan dan menjelaskan bidang kajian tersebut diatas, filsafat ilmu terapan merujuk kepada pokok pikiran kefilsafatan secara selektif yang bersifat relevan dengan pengetahuan normatif dunia keilmuan tersebut.
Simpulan
Sebagaimana diketahui, ada banyak pendapat mengenai definisi logika. Dalam pembahasan kali ini diambil kesimpulan bahwa logika merupakan alat berupa prosedur yang membantu manusia untuk menarik kesimpulan secara sahih. Logika juga diidentikkan dengan logis, akal, dan penalaran. Logika sering dianggap sebagai cara untuk menyampaikan kebenaran yang sudah tentu berasal dari filsafat. Dan sudah tentu apabila logika didukung dengan adanya ilmu pengetahuan, pasti manusia akan semakin kaya dengan pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya. Sebab bagai dua sisi mata pisau, apabila ilmu pengetahuan dan logika tidak berjalan seiring, maka hal tersebut akan membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Cukuplah bencana-bencana yang telah terjadi selama ini. Semoga manusia dengan akal pikiran dan pengetahuan yang dimiliki dapat membawa dunia ke perubahan yang lebih baik.

 

Daftar Pustaka

Suriasumantri, Jujun S.(2010).Menguak Cakrawala Keilmuan Landasan Filosofis Penulisan Tesis dan Disertasi, Pascasarjana UNJ.
Suriasumantri, Jujun S.(1978).Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Gramedia Obor.
www.scribd.com (dikutip tanggal 3 Januari 2011)
www.wikipedia.com (diunduh tanggal 3 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar