Selasa, 27 September 2011

Filsafat Pendidikan


FILSAFAT PENDIDIKAN
Oleh: Windi Eliyanti
Pendahuluan
Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan apabila kita membahas karya tulis yang membahas yang  membahas pendidikan, baik sains pendidikan (science of education) maupun filsafat pendidikan (philosophy of education), maka akan kita temukan berbagai macam pengertian atau uraian yang beraneka ragam tentang pendidikan. (Sadulloh, 2008)
Sebagaimana diketahui, menurut sejarah dan pengalaman selama ini tidak dapat disangkal bahwa pendidikan merupakan proses dan upaya untuk memperbaiki, membentuk, mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian atau perilaku (behavior) manusia (Bigger, dan Valvatne, dalam Aliasar 1995). Dalam kaitannya dengan fillsafat, yakni dengan berfilsafat manusia berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman hidupnya. Berfilsafat sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan.
Pentingnya memahami dan mendalami filsafat dan pendidikan dimaksudkan agar perubahan, perbaikan dan pengembangan tingkah laku yang dihasilkan dari upaya pendidikan itu tidak bertentangan atau menyimpang dari filsafat manusia sebagai makhluk yang tak bisa lepas dari pendidikan itu sendiri. Adalah merupakan suatu hal yang amat penting dan prinsip sekali masalah sistem filsafat dan filsafat pendidikan ini untuk dicermati dan disikapi dengan baik, sekaligus dipahami, dihayati dan diaplikasikan dalam pelaksanaan pendidikan, baik dalam pendidikan formal, maupun non formal, termasuk pendidikan dalam lingkungan keluarga.
Mempelajari berbagai sistem filsafat dan filsafat pendidikan, adalah dalam rangkamenyempurnakan dan memperluas wawasan sistem pendidikan nasional, yang bersumber dari falsafah bangsa, yaitu pancasila. Jadi yang terpenting ialah, bagaimana mencari persesuaian diantara filsafat pendidikan yang berbeda, sesuai dengan pemikiran bahwa Pancasila merupakan falsafah hidup yang terbuka. Mempelajari filsafat pendidikan tidak harus dengan begitu saja menerapkan ke dalam praktik pendidikan di Indonesia. Namun, kita harus dengan kritis mengkaji aliran mana yang sesuai dan cocok dengan falsafah pendidikan yang bersumber pada Pancasila.
Filsafat
Istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos artinya cinta yang sangat mendalam, dan sophia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi, arti filsafat secara harfiah ialah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebajikan (Sadulloh, 2008). Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan secara popular, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat). Sadulloh (dalam Henderson, 1959) mengemukakan: “Popularly, philosophy means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in the sense every one has a philosophy of life”.
Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup. Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Dalam pengertian lain, filsafat dapat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tak memiliki kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan, bahwa para filosof telah bertanggung jawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu.
Filsafat dapat dipelajari secara academism diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang mendalam sampai ke akar-akarnya mengenai segala sesuatu yang ada. “Philosophy means the attempt to conceive and present inclusive and systematic view of universe and man’s in it”. (Henderson, 1959, dalam Sadulloh, 2008). Demikian Henderson mengatakan. Filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta secara sistematis dan inklusif di mana manusia berada di dalamnya. Oleh karena itu filosof lebih sering menggunakan intelegensi yang tinggi dibandingkan dengan ahli sains dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya.
Harold Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai sains yang berkaitan dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai “science of science”, dimana tugas utamanya memberi analis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep sains, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup.
Pada bagian lain Harold Titus mengemukakan makna filsafat, yang pertama: filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta, kedua: filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif, dan penelitian dan penalaran, ketiga: filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah, keempat: filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir.
Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifandan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan, dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kehidupan.
Mencermati uraian di atas dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok yang ditelaahnya.
Pendidikan
Banyak konsep yang ditemukan dalam berbagai literatur yang dikemukakan para pakar tentang apa sebenarnya pendidikan pendidikan itu. Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogiek”, yang terdiri dari suku kata pais, gogos, iek. Pais berarti anak, gogos berarti membimbing/tuntunan, dan iek artinya ilmu. Jadi paedagogiek adalah ilmu yang membicarakan bagaimana memberikan bimbingan  kepada anak. Dalam bahasa Inggris pendidikan diterjemahkan menjadi “education”, dan dalam bahasa Yunani disebut “educare”, yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang. Istilah mendidik dan pendidikan adalah dua hal yang saling berhubungan. Mendidik adalah kata kerja, dan pendidikan adalah kata benda. Mendidik berarti melakukan tindakan atau kegiatan. Kegiatan dalam hal ini menunjuk adanya dua faktor yang harus ada yaitu pendidik dan peserta didik.
Makna pendidikan dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan pengertian secara luas. Dalam arti khusus, Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Selanjutnya Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991: 70) mengemukakan beberapa definisi pendidikan sebagai berikut: (a) menurut Prof. Hoogeveld, mendidik ialah membantu anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri. (b) menurut Prof. S. Brojonegoro, mendidik berarti memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani.
Jadi, pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapain kedewasaannya. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat dalam lingkungan keluarga. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh Drijarkara, bahwa: (a) pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak, di mana terjadi pemanusiaan anak. Dia berproses untuk memanusiakan sendirisebagai manusia purnawan. (b) pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah-ibu-anak, di mana terjadi pembudayaan anak. Dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia purnawan. (c) pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah-ibu-anak, di mana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, di mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.
Menurut Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figure sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah dan ibu tersebut akan berakhir apabila sang anak menjadi dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.
GBHN 1973-1978 (dalam Imran Manan, 1989) menyatakan bahwa, “pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.
Dalam Undang-Undang RI Bab 1 pasal 1 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (dalam Suryosubroto, 2010), disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari pengertian-pengertian pendidikan di atas ada beberapa prinsip dasar tentang pendidikan yang akan dilaksanakan:
Pertama, bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup. Usaha pendidikan sudah dimulai sejak manusia lahir dari kandungan ibunya, sampai tutup usia, sepanjang ia mampu untuk menerima pengaruh dan dapat mengembangkan dirinya. Suatu konsekuensi dari konsep pendidikan sepanjang hayat adalah, bahwa pendidikan tidak identik dengan persekolahan. Pendidikan akan berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kedua, bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama semua manusia: tanggung jawab orang tua, tanggung jawab masyarakat, dan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah tidak boleh memonopoli segalanya. Bersama keluarga dan masyarakat, pemerintah berusaha semaksimal mungkin agar pendidikan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ketiga, bagi manusia pendidikan merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang, yang disebut manusia seluruhnya. (Henderson, 1959, dalam Sadulloh, 2008) mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya suatu hal yang tak dapat dielakan manusia, suatu perbuatan yang “tidak boleh” tidak terjadi, karena pendidikan itu membimbing generasi muda untuk mencapai generasi yang lebih baik.
Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany (1979: 30) adalah: “Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis”.
Filsafat pendidikan bersandarakan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti: (a) hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuyk mencapainya. (b) hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan. (c) hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses social. (d) hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya Al-Syaibany (1979) berpandangan bahwa filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan dan memahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha juga membahas tentang segala yang mungkin mengarahkan proses pendidikan.
Pada bagian lain Al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsof pendidikan, diantaranya: (a) merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha pendidikan pada suatu bangsa. (b) menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya. (c) menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih baik. (d)  mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat, dan menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran tersebut. Filsof pendidikan harus memiliki pemikiran yang benar, jelas, dan menyeluruh tentang wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemanusiaan, pengetahuan kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsof pendidikan harus pula mampu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada  nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Menurut Keller (1971), filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan. Seperti halnya filsafat, filsafat pendidikan dapat dikatakan spekulatif, preskriptif, dan analitik.
Filsafat pendidikan dikatakan spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang sangat bermanfaat dalam menafsirkan data-data sebagai hasil penelitian sains yang berbeda.
Filsafat pendidikan dikatakan preskriptif apabila filsafat pendidikan menentukan tujuan-tujuan yang harus diikuti dan dicapainya, dan menentukan cara-cara yang tepat dan benar untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Pendidikan yang berdasakan pada falsafah Pancasila yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 adalah prespektif. Karena, secara tersurat menentukan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Pendidikan yang berdasarkan Pancasila juga menentukan cara-cara untuk menentukan tujuannya tersebut, dengan melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah, lengkapi pula aturan-aturan yang berkaitan dengan pelaksanaannya.
Filsafat pendidikan dikatakan analitik, apabila filsafat pendidikan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan prespektif. Misalnya menguji rasionalitas yang berkaitan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar