FILSAFAT
PENDIDIKAN
Oleh:
Windi Eliyanti
Pendahuluan
Lapangan
pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya mencakup seluruh
pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan apabila kita membahas karya
tulis yang membahas yang membahas
pendidikan, baik sains pendidikan (science of education) maupun filsafat
pendidikan (philosophy of education), maka akan kita temukan berbagai macam
pengertian atau uraian yang beraneka ragam tentang pendidikan. (Sadulloh, 2008)
Sebagaimana
diketahui, menurut sejarah dan pengalaman selama ini tidak dapat disangkal
bahwa pendidikan merupakan proses dan upaya untuk memperbaiki, membentuk,
mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian atau perilaku (behavior) manusia
(Bigger, dan Valvatne, dalam Aliasar 1995). Dalam kaitannya dengan fillsafat,
yakni dengan berfilsafat manusia berusaha merenungkan dan membuat garis besar
dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman
hidupnya. Berfilsafat sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan berpikir manusia
yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan.
Pentingnya
memahami dan mendalami filsafat dan pendidikan dimaksudkan agar perubahan,
perbaikan dan pengembangan tingkah laku yang dihasilkan dari upaya pendidikan
itu tidak bertentangan atau menyimpang dari filsafat manusia sebagai makhluk
yang tak bisa lepas dari pendidikan itu sendiri. Adalah merupakan suatu hal
yang amat penting dan prinsip sekali masalah sistem filsafat dan filsafat
pendidikan ini untuk dicermati dan disikapi dengan baik, sekaligus dipahami,
dihayati dan diaplikasikan dalam pelaksanaan pendidikan, baik dalam pendidikan formal, maupun non formal, termasuk pendidikan dalam lingkungan keluarga.
Mempelajari
berbagai sistem filsafat dan filsafat pendidikan, adalah dalam rangkamenyempurnakan
dan memperluas wawasan sistem pendidikan nasional, yang bersumber dari falsafah
bangsa, yaitu pancasila. Jadi yang terpenting ialah, bagaimana mencari
persesuaian diantara filsafat pendidikan yang berbeda, sesuai dengan pemikiran
bahwa Pancasila merupakan falsafah hidup yang terbuka. Mempelajari filsafat
pendidikan tidak harus dengan begitu saja menerapkan ke dalam praktik
pendidikan di Indonesia. Namun, kita harus dengan kritis mengkaji aliran mana
yang sesuai dan cocok dengan falsafah pendidikan yang bersumber pada Pancasila.
Filsafat
Istilah
“filsafat” berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari kata “philos” dan
“sophia”. Philos artinya cinta yang
sangat mendalam, dan sophia artinya
kearifan atau kebijakan. Jadi, arti filsafat secara harfiah ialah cinta yang
sangat mendalam terhadap kearifan atau kebajikan (Sadulloh, 2008). Istilah
filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik
secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan secara popular, filsafat
dapat diartikan sebagai suatu pendirian
hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat). Sadulloh (dalam Henderson, 1959)
mengemukakan: “Popularly, philosophy
means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in the sense
every one has a philosophy of life”.
Di
Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup. Filsafat diartikan
sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya.
Dalam pengertian lain, filsafat dapat diartikan sebagai interpretasi atau
evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Di
pihak lain ada yang beranggapan bahwa filsafat sebagai cara berpikir yang
kompleks, suatu pandangan yang tak memiliki kegunaan praktis. Ada pula yang
beranggapan, bahwa para filosof telah bertanggung jawab terhadap cita-cita dan
kultur masyarakat tertentu.
Filsafat
dapat dipelajari secara academism diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang
mendalam sampai ke akar-akarnya mengenai segala sesuatu yang ada. “Philosophy
means the attempt to conceive and present inclusive and systematic view of
universe and man’s in it”. (Henderson, 1959, dalam Sadulloh, 2008). Demikian
Henderson mengatakan. Filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam
semesta secara sistematis dan inklusif di mana manusia berada di dalamnya. Oleh
karena itu filosof lebih sering menggunakan intelegensi yang tinggi
dibandingkan dengan ahli sains dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya.
Harold
Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam
arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai sains yang berkaitan
dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna.
Filsafat diartikan sebagai “science of science”, dimana tugas utamanya memberi
analis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep sains, mengadakan
sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih
luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda
dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup,
dan makna hidup.
Pada
bagian lain Harold Titus mengemukakan makna filsafat, yang pertama: filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam
semesta, kedua: filsafat adalah suatu
metode berfikir reflektif, dan penelitian dan penalaran, ketiga: filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah, keempat: filsafat adalah seperangkat
teori dan sistem berpikir.
Berfilsafat
merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang penting dalam
menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan
berusaha untuk mencapai kearifandan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang
dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai
pengetahuan, dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang
tersirat dalam kehidupan.
Mencermati
uraian di atas dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan kegiatan berpikir
manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha
merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan
peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain
filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok yang
ditelaahnya.
Pendidikan
Banyak
konsep yang ditemukan dalam berbagai literatur yang dikemukakan para pakar
tentang apa sebenarnya pendidikan pendidikan itu. Secara etimologis, pendidikan
berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogiek”,
yang terdiri dari suku kata pais, gogos,
iek. Pais berarti anak, gogos berarti membimbing/tuntunan, dan iek artinya ilmu. Jadi paedagogiek adalah ilmu yang
membicarakan bagaimana memberikan bimbingan
kepada anak. Dalam bahasa Inggris pendidikan diterjemahkan menjadi “education”, dan dalam bahasa Yunani
disebut “educare”, yang berarti
membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak untuk dituntun agar tumbuh dan
berkembang. Istilah mendidik dan pendidikan adalah dua hal yang saling
berhubungan. Mendidik adalah kata kerja, dan pendidikan adalah kata benda.
Mendidik berarti melakukan tindakan atau kegiatan. Kegiatan dalam hal ini
menunjuk adanya dua faktor yang harus ada yaitu pendidik dan peserta didik.
Makna
pendidikan dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan pengertian secara
luas. Dalam arti khusus, Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah
bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk
mencapai kedewasaannya. Selanjutnya Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991: 70)
mengemukakan beberapa definisi pendidikan sebagai berikut: (a) menurut Prof.
Hoogeveld, mendidik ialah membantu anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas
hidupnya atas tanggung jawab sendiri. (b) menurut Prof. S. Brojonegoro,
mendidik berarti memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa dalam
pertumbuhan dan perkembangan, sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani
dan jasmani.
Jadi,
pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai sebagai usaha orang dewasa
dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapain kedewasaannya. Setelah
anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai.
Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat
dalam lingkungan keluarga. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh
Drijarkara, bahwa: (a) pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan
tritunggal ayah-ibu-anak, di mana terjadi pemanusiaan anak. Dia berproses untuk
memanusiakan sendirisebagai manusia purnawan.
(b) pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah-ibu-anak, di
mana terjadi pembudayaan anak. Dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri
sebagai manusia purnawan. (c)
pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah-ibu-anak, di
mana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, di mana dia berproses untuk akhirnya bisa
melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.
Menurut
Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan
keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu
yang merupakan figure sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab
untuk membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap
anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah dan ibu tersebut akan berakhir apabila
sang anak menjadi dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.
GBHN
1973-1978 (dalam Imran Manan, 1989) menyatakan bahwa, “pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam
maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.
Dalam
Undang-Undang RI Bab 1 pasal 1 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
(dalam Suryosubroto, 2010), disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari
pengertian-pengertian pendidikan di atas ada beberapa prinsip dasar tentang
pendidikan yang akan dilaksanakan:
Pertama, bahwa pendidikan berlangsung
seumur hidup. Usaha pendidikan sudah dimulai sejak manusia lahir dari kandungan
ibunya, sampai tutup usia, sepanjang ia mampu untuk menerima pengaruh dan dapat
mengembangkan dirinya. Suatu konsekuensi dari konsep pendidikan sepanjang hayat
adalah, bahwa pendidikan tidak identik dengan persekolahan. Pendidikan akan
berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kedua, bahwa tanggung jawab pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama semua manusia: tanggung jawab orang tua,
tanggung jawab masyarakat, dan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah tidak
boleh memonopoli segalanya. Bersama keluarga dan masyarakat, pemerintah
berusaha semaksimal mungkin agar pendidikan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Ketiga, bagi manusia pendidikan
merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki
kemampuan dan kepribadian yang berkembang, yang disebut manusia seluruhnya.
(Henderson, 1959, dalam Sadulloh, 2008) mengemukakan bahwa pendidikan pada
dasarnya suatu hal yang tak dapat dielakan manusia, suatu perbuatan yang “tidak boleh” tidak terjadi, karena
pendidikan itu membimbing generasi muda untuk mencapai generasi yang lebih
baik.
Filsafat Pendidikan
Filsafat
pendidikan menurut Al-Syaibany (1979: 30) adalah: “Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang
pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah
umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan
yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah
pendidikan secara praktis”.
Filsafat
pendidikan bersandarakan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti
bahwa masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat
umum, seperti: (a) hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha
untuyk mencapainya. (b) hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang
menerima pendidikan. (c) hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu proses social. (d) hakikat realitas akhir, karena semua
pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya
Al-Syaibany (1979) berpandangan bahwa filsafat pendidikan, seperti halnya
filsafat umum berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang
berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha untuk
mendalami konsep-konsep pendidikan dan dan memahami sebab-sebab yang hakiki
dari masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha juga membahas
tentang segala yang mungkin mengarahkan proses pendidikan.
Pada
bagian lain Al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang
diharapkan dilakukan oleh seorang filsof pendidikan, diantaranya: (a) merancang
dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha pendidikan pada
suatu bangsa. (b) menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar
beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya. (c) menunjukkan peranannya dalam
mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih
baik. (d) mendidik akhlak, perasaan
seni, dan keindahan pada masyarakat, dan menumbuhkan pada diri mereka sikap
menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran tersebut. Filsof
pendidikan harus memiliki pemikiran yang benar, jelas, dan menyeluruh tentang
wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemanusiaan,
pengetahuan kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsof pendidikan harus pula
mampu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Menurut
Keller (1971), filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan
pendidikan. Seperti halnya filsafat, filsafat pendidikan dapat dikatakan
spekulatif, preskriptif, dan analitik.
Filsafat
pendidikan dikatakan spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat
manusia, hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang sangat bermanfaat dalam
menafsirkan data-data sebagai hasil penelitian sains yang berbeda.
Filsafat
pendidikan dikatakan preskriptif apabila filsafat pendidikan menentukan
tujuan-tujuan yang harus diikuti dan dicapainya, dan menentukan cara-cara yang
tepat dan benar untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Pendidikan yang
berdasakan pada falsafah Pancasila yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2003 adalah prespektif. Karena, secara tersurat menentukan tujuan
pendidikan yang akan dicapai. Pendidikan yang berdasarkan Pancasila juga
menentukan cara-cara untuk menentukan tujuannya tersebut, dengan melalui jalur
pendidikan sekolah dan luar sekolah, lengkapi pula aturan-aturan yang berkaitan
dengan pelaksanaannya.
Filsafat
pendidikan dikatakan analitik, apabila filsafat pendidikan menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan prespektif. Misalnya menguji rasionalitas
yang berkaitan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana
konsistensinya dengan gagasan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar