Tampilkan postingan dengan label Naskah Drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Naskah Drama. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Mei 2011

Sikat Gigi



Sikat Gigi
[1999]


Terlihat sepasang manusia tengah asyik memandangi langit malam yang hitam. Egi dan Tio. Mereka sudah bersahabat sangat lama. Dan waktu itu mereka sedang berkunjung ke Puncak. Salah satu tempat wisata terkenal di Bandung.
Egi : Coba lihat. Langit begitu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang. Akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Indan, kan?
Tio : Apanya yang indah?
Egi : Kamu selalu saja, tidak bisa melihat keindahan. Dasar monokrom. Ekstra-terestrial.
Tio : Bukannya kamu lebih tahu itu daripada saya. Makanya, saya dengan senang hati mempersilakan kamu untuk menikmati malam terakhir kita di Puncak.
Egi : Alasan saja kau ini. (memukul badan Tio dengan bahunya)
Tio : Kamu kedinginan? (siap membuka jaket)
Egi : (melamun, tidak menjawab)
Tio : Ini akan menghangatkanmu (memakaikannya jaket)
***
Tio sangat mencintai Egi, tapi Tio tahu jika Egi mencintai laki-laki lain. Egi dan Tio tahu persis hal itu. Memang sulit bagi Egi untuk bisa lepas dari masa lalunya. Seorang pria bernama Raka telah mengambil sebagian jiwanya. Dua tahun yang lalu. Di sebuah kafe, tempat biasa yang sering Egi dan Raka datangi. Di meja yang sama.
Egi : Bagaimana kabar Ibumu? (memulai pembicaraan, sambil mengaduk-aduk jus jeruk yang ia pesan). Sudah baikkan?
Raka : Hmm… (menghembuskan napas panjang)
Egi : Aku mengerti, ini pasti sulit untukmu. Oleh karenanya kamu harus menjalani ini dengan ikhlas.
Raka : Ya. Aku tahu. (diam sejenak). Aku ingin membicarakan sesuatu.
Egi : Tentang apa?
Raka : Aku akan menikah. Tapi bukan denganmu…
Egi : (kaget). Kamu sedang bercanda?
Raka : Tidak. Aku serius. Minggu depan.
Egi : Tapi kenapa Raka? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu?
Raka : Tidak ada yang salah denganmu. Justru ini adalah kesalahanku. Karena aku sudah berjanji pada Ibuku. Dua minggu lagi Ibuku akan menjalani operasi. Dan ini adalah permintaannya. Aku telah dijodohkan dengan seorang perempuan, anak sahabat Ibuku. Aku tidak bisa menolaknya.
Egi : Tapi, apakah kamu mencintai dia?
Raka : Cinta sudah tak ada artinya lagi buatku. Karena sekarang yang paling penting adalah Ibuku. Maafkan aku Egi. (pergi meniggalkan Egi)
Egi : (matanya berkaca-kaca)
***
Di dalam ruang tengah, terlihat Tio yang sedang membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Ada Egi di sana. Mereka sudah cukup dewasa dan cukup dekat, sehingga Tio lagi canggung bila Egi terpaksa menginap di rumahnya.
Egi : Sudah lama kita tidak ke Puncak lagi. Terakhir kapan ya? (melewati Tio dengan menggenggam sikat gigi di tangan)
Tio : Enam minggu yang lalu? Waktu langit dan Bumi jadi satu.
Egi : Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengucapkannya sama datar dengan bilang 1+1=2…
Tio : (tidak menjawab)
Seperti biasa, Egi selalu lama bila menyikat gigi. Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti.
Tio : Egi, kenapa?
Egi : (berhenti berkumur, dan mematikan keran). Tio saya pulang ya. (sambil menghampiri Tio)
Tio : Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar kamu pulang. Saya malas keluar lagi.
Egi : (hampir menangis). Saya merasa tidak karuan.
Tio : Silakan kamu menangis sepuasnya. Saya janji akan diam. (menarik Egi duduk di sampingnya, kemudian melanjutkan membaca).
Egi : (diam sejenak). Tio… Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?
Tio : (tidak menjawab)
Egi : Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit…cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit Tio, tapi berarti banyak.
Tio : (masih tidak menjawab)
Egi : Kamu… pasti sebenarnya… sudah ingin ngomel-ngomel
Tio : Saya tetap masih tidak bisa mengerti. Tapi semuanya terserah kamu. (sambil menepuk-nepuk bahu Egi)
***
Malam ini adalah malam yang istimewa untuk Egi. Malam pesta ulang tahunnya yang ke-27. Banyak teman-temannya yang datang untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
Rani : Egi, selamat ulang tahun… (sambil memberi pelukan). Ini kado untukmu. (menyerahkan kado)
Egi : Terima kasih. Kamu datang dengan siapa?
Rani : Aku datang dengan Doni. Oh, iya di mana Tio?
Egi : Itu di pojokkan sana. Sedang berbicara dengan temannya.
Rani : Ooh… (sambil mengangguk-anggukan kepala). Eh, iya. Ini… (menyodorkan sebuah undangan.
Egi : Apa ini?
Rani : Itu adalah undangan pernikahanku dengan Doni. Jangan lupa datang.
Egi : Iya.
Rani : Ajak Tio juga yaaa…
Setelah bersenang-senang. Sekarang tinggalah kami berdua. Mata menerawang jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan pada hari seistimewa ini. Cepat-cepat aku menahannya sebelum ia sempat memasuki dunia antah berantah itu.
Tio : Ini hadiah untukmu.
Egi : (terkejut melihat kotak di hadapannya). Sejak kapan kamu kasih kado segala?
Tio : Usia 27 itu usia penting.
Egi : (membuka kotak itu, dan tertawa renyah)
Tio : Sikat gigi elektonik. Bergaransi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya… (menyodorkan sebuah buku kecil)
Egi : Tio. Saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi… kenapa sikat gigi?
Tio : Soalnya…ehm, soalnya… (terbata-bata)
Egi : (tersenyum menunggu jawaban)
Tio : Saya tidak penah mengerti dunia dalam lamunan kamu, pengharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itutiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu lebih lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa untuk berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu.
Egi : (terperangah, bahunya bergerak, siap menjauh)
Tio : Egi… jangan…
Egi : Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak mau membahas lagi persoalan ini. Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah… kamu tahu itu…
Tio : Kamu sahabat saya… sahabat terbaik…
Egi : (semakin menjauh)
Tio : Sampai kapan kamu akan terus mengharapkan dia! Orang yang tak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan untuk melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu.
Egi : Dia ingin datang. biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya. Ini namanya cinta sejati.
Tio : Itu bukan cinta sejati. Itu adalah kebutaan sejati. Kamu lebih memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah.
Egi : (menyentuh wajah Tio sekilas). Semoga suatu saat nanti kamu mengerti.
Itu adalah kata-kata terakhir Egi. Setelah percakapan itu, jembatan komunikasi di antara kami putus. Persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun kini hancur sudah.
Aku tidak pernah lagi berbicara dengan Egi. Dan sejak itu, aku putuskan untuk berusaha melupakan dia, walau itu sulit.
***
Sore itu, di kantin tempat Tio bekerja. Bella mendekati Tio yang sedang duduk sendirian.
Bella : Boleh saya duduk di sini?
Tio : Ya. Tentu.
Bella : Kulihat akhir-akhir ini kamu terlihat murung. Sedang ada masalah?
Tio : (tidak menjawab)
Bella : Ceritakan saja. Siapa tahu saya bisa membantu.
Tio : Terima kasih. Tapi saya sedang tidak ingin membicarakan hal ini.
Bella yang sejak dulu menaruh perhatian kepada Tio. Semakin berusaha mendekatinya. Terlebih setelah ia tahu kalau hubungan Tio dengan Egi sedang tidak baik. Ini akan menjadi kesempatan bagus untuknya.
Bella : Hei, jangan melamun terus. (menepuk punggung Tio)
Tio : (ekspresi terkejut)
Bella : Oh, maaf. Ini aku bawakan kamu sesuatu. (menyodorkan tempat makan berwarna biru).
Tio : Apa ini?
Bella : Itu bekal untukmu. Karena saya tahu belakangan ini kamu jarang sekali makan. Jadi saya sengaja membuatkanmu bekal. Itu ayam goreng buatan saya sendiri, semoga kamu suka.
Tio : Kenapa repot-repot segala.
Bella : Sama sekali tidak merepotkan kok. Saya justru sangat senang apabila kamu menerimanya. Terlebih jika kamu mau mencobanya.
Tio : Ya sudah. Nanti akan saya coba.
Bella : (tersenyum, lalu pergi menginggalkan Tio)
Bella jadi sering membawakan bekal untuk Tio. Tio pun sepertinya menyadari ada maksud tertentu di balik sikap Bella itu. Suatu hari Bella mengajak Tio untuk makan di luar.
Bella : Hari ini saya tidak membawakan bekal untukmu.
Tio : Oh, ya tidak apa-apa.
Bella : Saya sengaja kok. Karena saya ingin mengajakmu untuk makan di luar. Saya tahu tempat makan yang enak di dekat sini. Kamu tidak mau, kan?
Tio : Hmm… Ya sudah.
Bella : Pakai mobilku saja. Kamu yang mengemudi.
Tio : (mengangguk)
Sesampainya di restoran.
Pelayan : Selamat siang. Ini daftar menunya. (memberikan daftar menu)
Bella : Mau makan apa? (tanyanya pada Tio)
Tio : Terserah kamu saja.
Bella : Kalau begitu saya pesan iga bakar, dan ayam asam pedas manis. Minumnya es jeruk. (sambil mengembalikan daftar menu kepada pelayan)
Pelayan : Silakan tunggu sebentar.
Lima belas menit kemudian, pelayan itu kembali dengan makanan yang dipesan Bella.
Pelayan : Selamat menikmati. (tersenyum dan kemudian pergi)
Bella & Tio : (mengangguk)
Bella : Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan denganmu.
Tio : Bicara saja.
Bella : Kamu tentu sebenarnya sudah mengetahui hal ini.
Tio : (meletakan sendoknya). Ya, saya tahu.
Bella : Saya tidak akan pernah memaksa. Saya akan menerima jawaban apa pun yang akan keluar dari mulutmu. Walau pun itu pahit.
Tio : Bella. (memandang wajah Bella serius). Kamu tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tentang hubungan saya dengan Egi. Dan sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan dia.
Bella : Benar dugaan saya. Kamu masih mencintai Egi.
Tio : Maafkan saya Bella.
Bella : Tidak apa-apa. Saya bisa mengerti.
Tio : Tapi, kita bisa tetap menjadi sahabat, bukan?
Bella : Tentu. Seperti yang kubilang barusan. Saya akan menerima apa pun jawaban kamu. Saya tidak pernah menyesal untuk mengatakan ini kepadamu.
Tio : Terima kasih Bella. Kamu adalah wanita yang baik, cantik, pintar. Dan pasti di luar sana kamu akan mendapat seseorang yang lebih baik dari saya.
Bella : (tersenyum setengah dipaksa).
Mereka kini tetap bersahabat. Mengobrol di kantin seperti biasa. Atau terkadang Bella membawakan bekal untuk Tio.
***
Sekarang sudah hampir satu tahun aku tidak bertemu Egi. Sebenarnya bukan hal sulit untuk bertemu dengan Egi. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang tak pernah ku sadari.
Di taman, terlihat Egi sedang berbicara kepada anak kecil berusia sekitar 5 tahun.
Egi : Kenapa, Dik?
Anak kecil : Balon saya terbang (sambil menangis tersedu-sedu)
Egi : Nanti Kakak belikan lagi ya.
Anak kecil : Maunya balon yang itu (masih menangis)
Egi : Ya sudah, nanti Kakak akan belikan balon dengan warna yang sama. Memang balon Adik warnanya apa?
Anak kecil : Merah.
Egi : Adik tunggu di sini ya… (melangkah menuju penjual balon di ujung taman). Ini… (memberikan balon). Sekarang kamu jangan menangis lagi.
Anak kecil : Terima kasih, Kakak. (menghapus air mata dengan bajunya)
Egi : Iya. Sama-sama.
Sepuluh menit kemudian, Tio datang.
Tio : Egi…(berteriak dari kejauhan)
Egi : (berbalik)
Tio : (berlari lalu berlutut sambil memegang tangan Egi). Sebentar saja. Saya tidak lama.
Egi : (tidak berkata apa-apa)
Tio : Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Saya tetap Tio. Si monokrom-whatever yang melihat segalanya dengan tiga dimensi, bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu… (menatap mata Egi). Karena saya sudah mengalaminya sendiri. Kebutaan itu. Saya tahu sekarang, saya mencintaimu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. Tapi… karena saya juga mencintaimu di luar akal. Satu tahun saya menemukan banyak alternative yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah melibatkan saya. Dan saya tetap Tio, yang kalkulatif dan tidak mau rugi, tapi kali ini saya benar-benar tidak mengharapkan apa-apa. Saya hanya ingin mengatakan hal ini, dan… sudah. (berusaha bangkit, siap untuk pergi)
Egi : Mau ke mana? (memegang tangan Tio)
Tio : Jalan-jalan.
Egi : Ikut.
Tio : (tersenyum)
Mereka berdua berjalan menuju mobil Tio yang di parkir tak jauh dari taman. Mereka kembali akrab. Seolah-olah memang tidak terjadi apa-apa.
Egi : Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang selalu kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya… (menggenggam erat tangan Tio). Alam hati saya tidak mungkin dimengerti siapa-siapa. Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan. (diam sebentar, kemudian melanjutkan). Kamu hidup nyata saya, Tio. Dan saya tidak mau ke mana-mana lagi. Itu juga jika kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan…
Percakapan sore itu menjadi gerbang sebuah perjalanan baru yang pangjang untuk hubungan kami. Egi benar, banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak di beri kesempatan.

Naskah drama, karya Windi Eliyanti.
Diangkat dari cerpen Dewi Lestari(Dee)yang berjudul Sikat Gigi.

Budha Bar




Buddha Bar
[2005]


Di sebuah bar. Sekelompok sahabat sedang asyik meneguk tequila shot. Mereka adalah Nelly, Probo, Omen, Jack, dan Bejo. Nelly adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok mereka. Namun selain hal itu, mereka sama. Sama-sama lajang, muda, dan bersahabat. Tenaga-tenaga kerja masih bau toga milik perusahaan-perusahaan besar yang menggaji sarjana kemarin sore dengan gaji mini.
Jack : Ayo…malam ini kita minum sepuasnya. (sambil mengangkat tequila-nya)
Probo : Ayooo…
Nelly : Pasti gajiku akan habis dalam semalam ini. Tapi, ya sudahlah… ayo kita minum…
Bejo : Aku tidak ikut. Kalian saja. Aku akan pergi melihat sang DJ beraksi.
Jack : Ahh… nggak asyikk… sekali-kali ikutlah bergabung dengan kami.
Bejo : Nanti siapa yang akan menyetir, kalau kita semua mabuk.
Jack : Hahaha… benar juga kau!
Mereka semua unik. Dan mereka tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Mereka saling melengkapi. Probo adalah pria metroseksual yang suka sekali bercinta. Omen merupakan pria yang mempunya sifat yang sangat feminim, ia percaya bahwa ia sebenarnya adalah wanita yang tinggal dalam tubuh pria. Namun wanita ini lesbi, jadi Omen yang feminim itu masih menyukai perempuan. Jack. Tanpa dia, mungkin hidup ini akan datar. Karena dengan bersama dia hidup ini akan menjadi lebih hidup. Bersenang-senang, tertawa, itulah Jack. Sedang Bejo, dia adalah satu-satunya pria paling waras dalam kelompok ini. Dialah yang akan menyetir mobil, ketika kami semua mabuk. Dia mempunyai julukan Santo Bejo. Dan aku…Aku Nelly, aku adalah penggemar mereka.
Nelly : Probo. Jangan lupa minum air putih. Nanti kamu dehidrasi. (berteriak)
Probo : Apa?? (tidak mendengar)
Nelly : (mendekati Probo). Jangan lupa minum air putih. Nanti kamu bisa-bisa dehidrasi.
Probo : Oh, ya.
Nelly memang mempunyai perasaan khusus kepada Probo. Entah Probo menyadari itu atau tidak. Yang jelas Nelly sangat menikmati ketika berada di dekat Probo.
Nelly : Sudah kubilang, jangan terlalu banyak minum. Sekarang duduklah dulu.
Probo : (duduk). Tenang saja, aku masih kuat kok.
Nelly : Jangan dipaksakan.
Probo : Aku senang kau perhatian padaku. (memeluk Nelly). Aku suka kamu.
Nelly : Aku juga suka kamu.
Entah setengah sadar atau bukan, Probo mengucapkan itu. Tapi yang jelas. Itu bukan kata-kata cinta yang diungkapkan untuk Nelly seorang. Tapi untuk semua orang dalam diskotik itu.
Probo : Aku cinta kamu sayang. (ucapnya pada seorang wanita di tengah lantai dansa)
Wanita : Aku juga sayang. (mereka menari bersama)
Nelly : (memperhatikan Probo dari jauh). Probo! Kembalilah ke sini!
Probo : Ayo Nelly. Berdansalah bersama kami. (masih asyik menari)
Malam itu berlalu panjang terutama bagi Jack. Jack yang memang penikmat tequila sejati, tak bisa menolak minuman itu barang segelas. Sampai pada gelas yang kesepuluh, kepalanya mulai terasa pening.
Bejo : Kamu tidak apa-apa, Jack?
Jack : Santai… kepalaku hanya pusing sedikit.
Bejo : Sudahlah, kau hentikan acara minummu itu. Sudah hampir sepuluh gelas tequila yang masuk ke perutmu.
Jack : Wahai Santo Bejo. Biarkanlah temanmu ini meneguk tequila ini. Aku janji ini yang terakhir…terakhir untuk malam ini…hahahaa…
Bejo : (diam, menggeleng kepala)
Di sudut lain Omen sedang asyik mengobrol dengan wanita berpakaian mini. Namun sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Omen : Laki-laki itu memang bajingan! Jadi buat apa kamu masih memikirkan dia! Desi, kamu itu cantik. Jadi pasti masih banyak pria yang mau dengan kamu.
Desi : Sepertinya rasa cintaku sudah terlalu dalam, sehingga susah untuk dilupakan begitu saja. Dia adalah pria pertama yang tidur denganku. Dia begitu lembut dan sopan. Pokoknya dia beda dengan pria-pria hidung belang yang dengan seenaknya memperlakukan diriku seperti semena-mena.
Omen : Aku mengerti. Namun apabila dia benar-benar mencintaimu, dia pasti tidak akan meninggalkanmu seperti ini. Ingat! Laki-laki bukan hanya dia seorang. Masih banyak di dunia ini.
Desi : (menangis tersedu-sedu)
Omen : Kemarilah. (memeluk wanita itu)
Omen memang orang yang tepat untuk menjadi teman bicara. Semua wanita merasa nyaman jika bersama dia. Coba saja bila ia lebih macho. Mungkin aku lebih memilih Omen daripada Probo.
***
Hari ini adalah hari Minggu. Jadi, tak ada satu pun di antara kami yang bangun pagi. Kami menginap di rumah Omen tadi malam. Dan seperti biasa, dia adalah makhluk yang paling susah untuk berpisah dengan bantal. Dia bisa tidur seharian penuh. Tapi kali ini dia terbangun saat mentari sudah mulai terbenam.
Nelly : Nah, ini dia nih si beruang. Sudah selesai hibernasinya?
Omen : Mengomel saja. Kaya emak-emak.
Nelly : Aku kan memang satu-satunya emak-emak disini. Kalau kamu kan emak jadi-jadian. Hahaha…
Omen : (membuat bulatan kecil dengan bibirnya)
Probo : Iya benar kata Nelly. (tertawa)
Omen : Ahh… (menyenggol badan Probo dengan pantatnya)
Bejo : Ini makanannya. (membawa nasi bungkus, dan membagikannya satu per satu)
Jack : Asyiiik… thanks, Santo Bejo.
Bejo : Oh, iya Jack. Tadi malam kamu mengigau lagi. Kamu berteriak ‘tidaaak…tidaaak…’ begitu, memang tadi malam kamu mimpi apa?
Jack : (berpikir dengan mengerutkan dahi) Hmm… Tadi malam aku bermimpi. Mimpi itu sangat menyeramkan…(semuanya mendengarkan serius). Mau tahu aku mimpi apa?
Nelly : Mimpi apa sih???
Jack : Aku bermimpi kalau tequila di seluruh Bumi ini lenyap…
Probo : Yaaah… aku kira mimpi apa. Nggak penting ternyata.
Jack : Eh, tunggu. Jangan dipotong dulu. Kalian kan belum dengar keseluruhan cerita di mimpiku. Aku bermimpi kalau aku mati.
Bejo : Semoga Tuhan memberkati.
Nelly : Eh, sembarangan saja kamu bicara.
Bejo : Maaf. Aku cuma bercanda.
Omen : Itu kan cuma mimpi, Jack. Cuma bunga tidur.
Jack : Tapi itu sangat jelas. Seperti nyata.
Probo : Tidak usah pedulikan Jack. Ayo kita makan. (membuka nasi bungkus)
Setelah acara makan itu. Aku izin pulang kepada mereka. Karena besok aku harus kembali bekerja. Ke esokannya di kantor.
Beni : Hai cantik... (menggoda Nelly)
Nelly : Apa sih kamu. Oh, ya. Map kemarin yang aku titipkan kepadamu, sekarang kamu bawa?
Beni : Tentu. Sebentar aku ambil. (mengambil map biru di meja kerjanya). Ini…(menyerahkan map)
Nelly : Terima kasih. (sambil tersenyum)
Beni : Waaah… senyummu itu indah sekali. Seperti mawar yang mekar.
Nelly : Dasar gombal! (pergi meninggalkan Beni)
Nelly memang bukan wanita yang cantik. Namun dengan tubuh yang proposional dan rambut yang indah. Nelly terlihat sangat manis.
***
Omen sudah memutuskan pensiun dini dari tempat kerjanya. Karena paling tidak bisa untuk bangun pagi. Jadi, dia lebih memilih membuka biro konsultasi via internet. Setidaknya pekerjaan barunya ini tidak menuntut dia untuk selalu on. Siang itu dia sedang chat dengan seorang member. Seorang istri yang jarang diperhatikan suaminya (Ibu Gita).
Omen : Mungkin ada sesuatu yang salah pada diri Anda.
Ibu Gita : Apanya yang salah. Saya tidak pernah selingkuh atau pun melirik pria lain.
Omen : Mungkin Anda jarang berkomukasi dengan suami.
Ibu Gita : Ya jaranglah. Orang suami saya sibuk.
Omen : Nah, itu dia. Komunikasi yang kurang dapat menyebabkan kerenggangan dalam suatu hubungan.
Ibu Gita : Lalu, sekarang apa yang harus saya lakukan?
Omen : Hal pertama yang harus Anda lakukan adalah, jika suami Anda pulang, layani beliau dengan baik. Tersenyum, gunakan kata-kata yang lembut. Bahkan Anda harus bersikap lebih baik kepadanya sampai pada urusan ‘ranjang’.
Ibu Gita : Iya. Akan saya coba. Terima kasih atas saran yang Anda berikan.
Omen : Ya, sama-sama.
Obrolan itu pun terputus. Di gantikan obrolan dengan member yang lain.
***
Probo adalah pria yang tak bisa hidup tanpa wanita. Kali ini dia mengajak seorang wanita yang baru dikenalnya tiga hari yang lalu. Mereka sedang duduk berbincang di foodcourt sebuah mall.
Probo : Bunga. Hari ini kamu cantik sekali. (sambil menyentuh pipi wanita itu)
Bunga : Ah… bisa saja. (tersenyum malu)
Probo : Sungguh. Baju itu sangat cocok dipakai di badanmu.
Bunga : Aku pikir ini biasa saja. Kamu jangan terlalu banyak memuji.
Probo : Tapi, aku yakin. Kamu senang bukan mendapat pujian dariku?
Bunga : (tersenyum). Oh, ya, kamu sedang sibuk apa sekarang?
Probo : Aku sedang sibuk memandangi keindahan ciptaan Tuhan. (sambil memandang ajah Bunga)
Bunga : Aku serius!
Probo : Aku juga serius! (diam sebentar). Hmm… sekarang aku tidak sedang sibuk. Dua minggu ini aku sedang cuti.
Bunga : Cuti untuk apa?
Probo : Cuti untuk berkencan denganmu. (memegang tangan Bunga)
Bunga : (pipinya merona) Kenapa kamu ingin berkencan denganku?
Probo : Karena aku suka kamu.
Bunga : Cepat sekali kamu bilang suka kepadaku. Kita kan baru kenal.
Probo : Dari awal aku melihatmu, aku sudah tahu bahwa kita itu berjodoh. Ingat, saat pertama kita bertemu. Kita mengenakan baju dengan warna yang sama. Bukankah itu tandanya kita berjodoh?
Bunga : Itu pasti sebuah kebetulan.
Probo : Ya, sebuah kebetulan yang direncanakan Tuhan.
Bunga : (tersenyum) Kamu romantis. Biasanya pria sepertimu pasti sudah mempunyai pasangan. Ya, kan?
Probo : Jika aku menjawab ‘iya’, aku tidak mungkin berani menemuimu di sini.
Bunga : Masa? Aku masih tidak percaya?
Probo : Apa perlu kuambil bulan dan kupetik bintang, agar kau percaya?
Bunga : Tidak usah. Lebih baik pesankan aku makanan saja. Aku lapar.
Probo : (tertawa kecil). Oke.
Ini bukanlah hal sulit bagi Probo. Rayuan gombal Probo selalu bisa meluluhkan hati wanita yang dia incar.
***
Jika ingin mencari Bejo, di sinilah tempatnya. Di garasi mobil rumahnya. Tempat itu merupakan laboratorium pribadi, tempat di mana ia bebas mengoperasi semua mesin-mesin elektronik miliknya. Waktu itu terlihat Jack menemani Bejo yang sedang membongkar generator AC.
Bejo : Bisa tolong ambilkan obeng di dalam kotak itu. (menunjuk kotak hitam di samping Jack)
Jack : Nih… (memberikan obeng). Memang kamu sedang mengerjakan apa?
Bejo : AC ini kadang-kadang nggak dingin. Jadi, aku putuskan untuk membongkar generatornya. Sepertinya ada yang salah di sini.
Jack : Jangan sok tahu deh. Lebih baik kamu servis AC itu sama yang ahlinya.
Bejo : Kamu, jack. Kaya nggak tahu aku saja. Manusia seperti aku ini paling anti yang namanya minta bantuan tukang servis.
Jack : Iya, iya.
Tiba-tiba Jack mengeluh kesakitan.
Jack : (memegang kepala). Aduuuh…
Bejo : Kenapa kamu Jack?
Jack : Kepalaku pusing lagi. Sudah tiga minggu terakhir ini kepalaku sering pusing.
Bejo : Kamu sudah periksa ke dokter?
Jack : Belum.
Bejo : Tunggu di sini sebentar. Akan aku ambilkan obat sakit kepala. (masuk ke dalam rumah).
Jack : Ya.
Bejo : (datang membawa obat dan segelas air putih). Ayo diminum.
Jack : Terima kasih. (meminum obat itu)
Bejo : Bagaimana? Sudah baikkan?
Jack : Obatnya saja baru diminum. Ya, belum kelihatan khasiatnya laaah...
Bejo : Oh iya, yaaa… (tersenyum). Sekarang kamu istirahat saja dulu di dalam.
Jack : (beranjak pergi menuju ke dalam rumah)
***
Malam-malam ada seorang pria misterius yang menelepon Omen. Namun Omen tetap tidur dengan pulas. Setelah handphone itu berdering untuk yang kedua puluh kalinya, barulah ia merasa terusik. Dan mengangkat telepon itu.
Omen : Halo! Ini siapa? Mengapa menelepon malam-malam begini?
Pria misterius : Itu tidak penting! Saya butuh teman bicara sekarang!
Omen : Ahh… (bersiap mengakhiri panggilan)
Pria misterius : Tunggu! Jangan matikan teleponnya! Anda harus memberi saya solusi. Ini menyangkut hidup dan mati saya.
Omen : (kaget dan langsung membelakan mata). Memang apa masalahmu?
Omen memang paling tidak bisa menolak seseorang yang ingin curhat dengannya. Apa lagi mendengar ini menyangkut nyawa seseorang.
Pria misterius : Apa yang harus saya lakukan, jika saya akan mati besok?
Omen : Ya, Anda harus segera bertobat. Mumpung sekarang Anda masih hidup.
Pria misterius : Saya serius.
Omen : Maafkan saya. Tapi memang benar hal yang saya katakan barusan. Anda harus bertobat, selagi sekarang Tuhan masih memberi izin pada Anda untuk bisa bernapas. Anda juga harus meminta maaf kepada orang yang telah Anda sakiti. Begitu pun sebaliknya, Anda harus ikhlas memaafkan kesalahan yang orang lakukan pada Anda.
Pria misterius : (diam sejenak, lalu mematikan handphone-nya)
***

Entah kenapa sore itu Nelly sangat ingin bertemu Probo. Sehingga ia putuskan untuk pergi ke rumah Probo. Sesampainya di sana, rumahnya tidak di kunci. Jadi Nelly memutuskan untuk masuk.
Nelly : Probo…(berteriak) Probo… Kamu di mana…?
Tidak ada jawaban. Dan ketika Nelly membuka pintu kamar mandi. Dia menemukan Probo sedang tergeletak di lantai kamar mandi.
Nelly : Probo…bangun Probo… (mengguncang-guncang tubuh Probo)
Nelly langsung memanggil ambulan. Dan dia langsung menelepon sahabat-sahabatnya yang lain. Jack, Bejo, dan Omen. Namun Omen tak bisa dihubungi, jadi Nelly mengirimkan pesan singkat pada Omen. Datanglah Jack dan Bejo ke rumah sakit, mereka mendapati Nelly sedang menangis di kursi.
Jack : Apa yang terjadi pada Probo?
Nelly : (memeluk Jack). Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika aku mengunjungi rumahnya. Aku menemukan dia tergeletak di lantai kamar mandi.
Bejo : Ya sudah. Kita sama-sama berdoa saja, semoga tidak terjadi apa-apa pada Probo.
Tiba-tiba dokter datang. Mereka langsung memburu dokter itu dengan berbagai bertanyaan.
Nelly : Dok, bagaimana keadaan Probo?
Dokter : Apa Anda salah satu anggota keluarganya?
Nelly : Ya. Saya sepupunya. (berbohong)
Dokter : Kondisi pasien sekarang sedang kritis. Kepalanya terbentur, dan sarafnya penglihatannya terganggu. Kemungkinan dia tidak akan bisa melihat lagi. Tapi kita berdoa saja, semoga itu tidak terjadi. Sekarang kalian boleh melihat, tapi harus bergantian. Pasien sedang koma dan membutuhkan istirahat.
Jack dan Bejo mempersilakan Nelly untuk menemui Probo lebih dahulu. Nelly masuk ke dalam ruangan, sedang Jack dan Bejo menunggu di luar. Setengah jam kemudian Omen datang.
Omen : Apa yang sebenarnya terjadi?
Bejo : Dari mana saja kamu?
Omen : Tidur.
Jack : Dasar beruang.
Omen : Terus sekarang bagaimana keadaan Probo?
Jack : Dokter bilang, saraf penglihatannya terganggu akibat kepalanya terbentur. Kemungkinan dia tidak akan bisa melihat lagi. Tapi itu baru kemungkinan. Semoga tidak benar-benar terjadi. Sekarang dia sedang kritis. Di dalam ada Nelly yang menungguinya.
Omen : Ahh… separah itu kah keadaannya? (menggigit jari)
Bejo : Sekarang lebih baik kita mendoakan Probo.
Omen : Ya.
Mereka berempat saling bergantian menemani Probo di rumah sakit. Namun Jack lebih sering minta maaf kepada Nelly, bahwa dia tidak bisa menemani Probo. Sehingga jika Jack tidak bisa, Nelly-lah yang menemani Probo. Hampir tiga minggu Probo berbaring di rumah sakit. Sedikit demi sedikit detak jantung dan tekanan darah Probo mmulai normal, namun ia masih belum juga membuka mata. Ketika itu Nelly sedang menemani Probo.
Probo : (menggerak-gerakkan jarinya)
Nelly : (kaget). Probo, kamu mendengarku. Probo…
Probo : (berusaha membuka matanya). Nelly, kau kah itu?
Nelly : Iya, ini aku.
Probo : Kenapa mataku diperban?
Nelly : Oh, itu. Nanti akan kuminta pada dokter untuk membuka perbanmu.
Nelly memanggil suster. Suster itu pun memeriksa tekanan darah Probo, lalu memanggil dokter.
Dokter : Bagaimana tekanan darahnya, Suster?
Suster : Normal, Dok?
Dokter : Bagaimana perasaanmu sekarang, Probo?
Probo : Saya merasa baik. Tapi kenapa mata saya diperban, Dok?
Dokter : Ini buat kebaikan kamu. Tapi jika kamu sudah siap, besok kita bisa membukanya.
Probo : (diam, tak mengerti)
Nelly : Ya, terimakasih Dokter.
Dokter : Sama-sama
Keesokan harinya Nelly, Omen, Jack, dan Bejo datang ke rumah sakit. Semuanya berkumpul untuk melihat kondisi Probo.
Jack : Bagaimana keadaanmu sekarang Probo?
Probo : Baik. Memang apa yang terjadi kepadaku?
Omen : Sudah tiga minggu kamu di rumah sakit. Kamu koma.
Probo : Selama itu?
Bejo : Iya.
Nelly : Sudah-sudah, biarkan Probo istirahat.
Tak lama kemudian Dokter datang bersama seorang Suster.
Dokter : Sudah siap Probo?
Probo : Sepenuhnyaa siap, Dok.
Dokter : Suster, tolong buka perbannya.
Suster : Baik, Dok. (membuka perban itu sampai yang hanya kapas yang melekat di kedua matanya)
Dokter : Ingat! Buka matamu pelan-pelan.
Suster : (membuka kapas itu)
Probo : (membuka mata perlahan). Dok, kenapa gelap. Siapa yang mematikan lampu, Dok.
Nelly : (memeluk Probo). Tidak apa-apa, aku di sini Probo.
Probo : Aku tidak bisa melihatmu, Nelly.
Nelly : (menangis)
Probo : Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku buta… Aku buta…
Tiga hari berlalu. Probo masih tidak bisa menerima kondisinya sekarang. Siang itu Dokter menemuiku.
Dokter : Saya mempunyai kabar gembira untukmu. Kemarin ada yang menelepon pihak rumah sakit. Ada seorang pria yang ingin mendonorkan matanya untuk Probo. Tapi dia tak memberi tahu identitasnya.
Nelly : Kalau begitu, kemungkinan Probo akan bisa melihat kembali. Benar kan, Dok?
Dokter : Benar.
***
Sudah seminggu, semenjak kita tahu Probo tidak bisa melihat lagi. Dan sudah seminggu pula Jack tak dapat dihubungi. Handphone-nya mati. Di cari di rumah Bejo juga tidak ada. Lalu ke mana dia. Sejauh yang kutahu Jack tinggal bersama Bejo. Ketika kutanya Bejo, ia pun tidak tahu di mana keberadaan Jack. Namun baju dan barang-barangnya masih utuh di rumah Bejo.
Nelly : Kalian ada yang tahu di mana Jack?
Omen : paling di diskotik tempat dia biasa minum?
Bejo : Aku sudah mencarinya di sana, tapi nihil?
Omen : Atau mungkin dia lupa jalan pulang, akibat terlalu banyak meneguk tequila.
Nelly : Aku serius Omen?
Omen : Maaf.
Nelly : Aku ingin membertahu kabar gembira tentang Probo kepadanya. Besok Probo akan menjalani. Jadi, aku ingin kita semua berkumpul, berdoa bersama demi keberhasilan operasi itu.
Bejo : Ya, aku mengerti. Namun pasti ada alasan khusus. Jack tidak mungkin menghilang begitu saja.
Hari itu pun tiba. Hari yang menentukan apakah Probo dapat melihat lagi atau tidak. Tapi semoga Tuhan berbaik hati, memberinya kesempatan kedua untuk bisa kembali melihat dunia. Lima jam kami bertiga menunggu, akhirnya Dokter pun keluar dari ruang operasi.
Nelly : Bagaimana, Dok?
Dokter : Operasinya berjalan lancar.
Nelly : Syukur. (menghembuskan napas panjang dan tersenyum)
Dokter : Tiga hari lagi kita sudah bisa membuka perbannya.
Selama tiga hari itu, Nelly dengan setia menemani Probo. Sampai waktunya tiba. Hari di mana kita akan mengetahui hasil operasi Probo. Kami masih bertiga. Aku, Bejo, dan Omen. Tanpa Jack.
Dokter : Suster, tolong buka perbannya.
Suster : Baik, Dok.
Dokter : Saya ingatkan lagi. Buka matamu perlahan.
Probo : Ya, Dok.
Setelah perbannya dibuka. Probo membuka matanya perlahan, sesuai intruksi Dokter.
Probo : (membuka mata). Nelly, kau kah itu?
Nelly : Iya, Probo. Ini benar aku. (tersenyum dan memeluk Probo)
Probo : Bejo, Omen, kalian juga di sini. (melepaskan pelukan). Oh, ya. Di mana Jack?
Bejo : Sudah seminggu lebih kami tidak bertemu dengannya.
Probo : Memang dia ke mana?
Omen : Tidak ada satu pun dari kami yang tahu di mana dia.
Keesokan harinya Probo meninggalkan rumah sakit. Ketika dia hendak pergi, Pihak rumah sakit memberinya sebuah surat. Kemudian ia letakan surat itu ke dalam koper. Terlihat bahwa surat itu bukan surat tagihan biaya rumah sakit. Tapi surat lain.
Sesampainya di rumah. Baju-baju di dalam koper ia letakan kembali ke dalam lemarinya. Ia menemukan surat yang tadi di masukkannya ke dalam koper. Kemudian sambil duduk di ranjang, ia membaca surat tersebut. Betapa kagetnya ketika dia membaca surat itu.
Probo langsung menelepon Nelly, Bejo, dan Omen agar mereka ke rumahnya.
Probo : Lihat ini! (menunjukkan surat)
Nelly : (langsung mengambil surat itu dari tangan Probo). Apa ini?
Probo : Baca saja sendiri.
Nelly : (membaca surat itu, kemudian menangis).
Omen : Kenapa? Ada apa?
Nelly : Kalian harus membacanya. (menyerahkan surat itu kepada Omen)
Omen menyerahkan surat itu kepada Bejo, agar mereka bisa membacanya bersama. Setelah selesai membaca, Omen langsung memeluk Nelly. Di susul Probo dan juga Bejo. Kini mereka berpeluk haru. Menangis bersama.

Untuk sahabat terbaikku di dunia…
Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Oleh karena itu, sebelum kalian membaca lebih jauh isi surat ini, aku ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada kalian. Aku tahu, selama ini akulah yang paling banyak merepotkan. Terutama kepadamu, Bejo. Aku mungkin akan menjadi gelandangan, jika kamu tidak memberiku tempat tinggal. Nelly, aku juga ingin minta maaf kepadamu. Gara-gara mengikuti kemauanku, gaji bulananmu selalu habis untuk pesta minum tequila kita. Tapi, aku yakin kamu senang, karena hanya dengan begitu kamu bisa lebih dekat dengan Probo. Omen, terima kasih kamu mau mendengarkan cuhat-ku. Maafkan aku telah mengganggumu malam-malam, maafkan aku karena telah menggangu tidur pulasmu. Terima kasih untuk nasihat yang kamu berikan. Aku meminta maaf kepada semua orang yang telah aku sakiti, sesuai dengan saran yang kau berikan waktu itu padaku. Dan Probo, aku tidak ingin kamu melihatmu sedih. Oleh karenanya, kutitipkan bola mataku ini padamu, agar kau dapat melihat lagi. Dan, satu pesanku kepadamu. Jangan kau sia-siakan orang yang benar-benar mencintai, aku titipkan Nelly padamu.
Ketika kalian membaca surat ini, kalian mungkin tidak akan bisa menemuiku lagi. Karena aku sekarang sedang tersenyum di surga. Menikmati tequila, yang rasanya jauh lebih nikmat daripada di dunia, menari bersama bidadari-bidadari cantik.


Jack on the rocks


Naskah drama, karya Windi Eliyanti.
Diangkat dari cerpen Dewi Lestari(Dee)yang berjudul Budha Bar.

Senin, 11 April 2011

Filosofi Kopi




Filosofi Kopi
[1996]

1.
Begitu banyak daun yang berguguran, hampir rontok pohon-pohon di pinggir jalan. Paris memang surga untuk para penggila fashion. Tapi, bukanlah parfum, baju, ataupun tas mewah yang dicari oleh pria blasteran Inggris itu. Melainkan, rahasia ramuan kopi para barista-barista terkenal di seluruh Paris. Dia bernama Ben. Berperawakan sederhana dengan tinggi semampai, berkulit putih, dan berambut hitam agak pirang.
Di sebuah kedai kopi, yang terletak di Jalan R. d’Arcole, yang bersebelahan dengan toko buku itu, nampak wajah Ben yang sedang kebingungan.
Ben : Pardon, je ne parle pas bien le Français. Est-ce que vous pouvez parle l’anglais? (Ben mengucapkannya terbata-bata. Sambil membolak-balik buku praktis berbahasa Perancis)
Manajer kafe : Oui, bien sûr. Of course, Sir. Can I help you?
Ben : Do you mind if I meet with the barista? I want to talk with him.
Manajer kafe : For what?
Ben : I just want to talk with him about coffee.
Manajer kafe : Hmm…Ok. But I only give you ten minutes. No more!
Ben : Yes. Thank you Sir.
Dengan wajah semringah, ia masuk ke dalam dapur, duduk di depan meja bar. Berbincang-bincang seperlunya dengan sang barista. Tentu Ben tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting.
Hal yang sama ia lakukan ketika singgah di Roma, Amsterdam, London, New York, dan Moskow. Sampai pada akhirnya dia kembali ke Indonesia dan siap membuka kedainnya sendiri.
***
Minggu pertama Ben dengan kafenya. Tak banyak pengunjung yang datang.
Ben : Selamat datang, Pak. Silakan duduk. Ini daftar menunya. (menyerahkan daftar minuman)
Pengunjung : Oh, ya…
Ben : Jadi, Bapak mau pesan apa?
Pengunjung : Saya pesan kopi tubruk satu.
Ben : Baik. Silakan tunggu sebentar. (Ben pergi menuju meja bar dan datang kembali menyodorkan kopi tubruk panas ke pengunjung tadi)
Pengunjung : Wah, cepat sekali. (Bapak itu setengah terkejut)
Ben : Di sini saya bekerja sendiri, Pak. Jadi saya harus bisa melayani para pelanggan dengan cepat. Lagi pula, pengunjung yang datang masih sedikit. Di sini hanya ada Bapak dan dua orang laki-laki di pojokan itu. (menunjuk dua orang laki-laki)
Pengunjung : Oh, begitu. Saya juga sebenarnya asal mampir saja ke sini. Kebetulan lewat, dan lihat kalau di sini ada kedai kopi. Jadi, saya putuskan untuk mampir sebentar.
Ben : Terima kasih Bapak sudah bersedia mampir ke kedai kecil saya.
Pengunjung : Ya. Sama-sama.
Ben : Silakan dicoba Pak kopinya!
Pengunjung itu siap menyeruput kopi tubruknya. Dan setelah cairan hitam itu masuk ke tenggorokannya, ia mengangkat kepala.
Pengunjung : Wah… enak ternyata kopinya. Pas.
Ben : Terima kasih atas pujiannya, Pak.
Pengunjung : Saya akan rekomendasikan kedai kamu kepada teman-teman saya.
Ben : Oh… terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. (Seketika Ben langsung menjabat tangan Pengunjung itu)
***
Sejak saat itu, kedai kopi Ben mulai dilirik banyak orang. Namun dengan fasilitas tempat yang masih sederhana membuat Ben berpikir untuk mengembangkan usaha kedainya. Ia pun mengajak salah satu teman baiknya untuk bergabung, menginvestasikan uangnya untuk kedai itu.
Ben : Jo, Aku punya ide tentang pengembangan kedai kopiku itu.
Jody : Apa ide kamu?
Ben : Aku akan mengubah dekorasi interior kedai, dan memperluas ruangannya. Melihat pengunjung yang sekarang jumlahnya semakin mengingkat, inovasi ini akan menambah keuntungan kedai. Dan untuk itu, kamu bisa menjadi partner bisnisku.
Jody : Maksud kamu?
Ben : Ya. Tentu kamu mau bukan mengivestasikan uangmu untuk kedai? Prospek ke depannya bagus, dan aku yakin kamu tidak akan menyesal melakukan ini.
Jody : Apa kamu yakin? Apa jaminannya?
Ben : Jody… jody… (sambil tertawa kecil). Kamu kan sudah lihat sendiri, berapa banyak pengunjung yang datang ke kedaiku. Kamu pasti bisa tahu, berapa pfofit yang bisa kamu dapat jika kamu bergabung denganku.
Jody : hmm… (mencoba berpikir). Akan kuberikan jawabannya besok.
Ben : Ok, kawan. Akan kutunggu sampai besok.
***
Keesokan harinya Jody menemui Ben di kedai.
Ben : Hei… selamat datang kawan. Apa kau sudah mengambil keputusan?
Jody : (sambil membuka isi tas, dikeluarkannya sebuah amplop). Ini adalah uang tabunganku, dan sekarang aku serahkan sepenuhnya kepadamu.
Ben : Kamu memang sahabat terbaikku. Akan kugunakan uang ini sebijak mungkin.
Jody : Ya. Aku percaya padamu.
***
Kedai itu kini bernama “Kedai Koffie BEN & JODY”.
Ben memang pecinta kopi sejati. Sampai-sampai Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuannya. Suatu ketika aku mendengar sayup-sayup Ben berkata pada salah seorang pengunjung perempuan yang duduk di bar.
Ben : Itu yang membuat saya mencintai minuman ini. Kopi itu sangat berkarakter. Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan. Anda tahu cappuccino ini adalah kopi yang pang genit?
Pengunjung1 : (tertawa kecil)
Ben : berbeda dengan café latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat seindah mungkin.
Pengunjung1 : Oh, ya?
Ben : Seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum. (sambil menjelaskan, Ben dengan terampil membentuk buih cappuccino yang terapung dicangkir itu menjadi bentuk hati yang cantik)
Tiba-tiba ada seorang pengunjung lain bertanya iseng.
Pengunjung2 : Bagaimana dengan kopi tubruk?
Ben : Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill untuk membuatnya. Tapi tunggu ketika Anda mencium aromanya. (Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk pada pengunjung itu). Silakan komplimen untuk Anda.
Pengunjung2 : (memegang cangkir, dan siap menyeruput kopi yang disodorkan Ben).
Ben : tunggu dulu. Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hirup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung Kilimanjaro.
Pengunjung2 : (menghirup aroma kopi tubruk tersebut, lalu mengangkat kepala dan tersenyum).
***
Ketika kedai tutup semua pulang. Sekarang tinggal aku dan Ben duduk di salah satu sudut ruangan itu.
Ben : Tidak terasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih. Sekian banyak orang yang datang dan pergi… dan kamu tahu apa kesimpulanku?
Jody : Kita akan kaya raya?
Ben : Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada di sini.
Jody : Di dalam daftar minuman ini? (sambil menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja.
Ben : (mengangguk)
Jody : Bagaimana bisa kamu mengkondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman? (sambil menatap geli kepada Ben). Ben.. Ben..
Ben : Jody… Jody… (sambil menggeleng-gelengkan kepala). Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menemukan dirinya di sini.
***
Setelah pembicaraan malam itu. Akhirnya Ben memutuskan mengubah nama kedai kami menjadi “FILOSOFI KOPI” (Temukan Diri Anda di Sini)
Ternyata nama kedai kami berikut slogannya menjadi sangat populer. Banyak pengunjung yang berdatangan. Mulai dari yang benar-benar pecinta kopi, sampai pengunjung yang hanya sekadar penasaran akan kedai kami.
Amir : Hey, Rudi. Temani saya ke Filosofi Kopi yuuk..
Rudi : Filosofi Kopi itu apa?
Amir : Ya, ampun… jadi kamu belum tahu Filosofi Kopi. Nih yaa… Filosofi Kopi itu nama sebuah kedai kopi. Tempatnya Asyik dan kopinya enak-enak.
Rudi : Ah..masa? (memasang muka ragu)
Amir : Makanya kamu harus ikut dengan saya.
Sesampainya di kedai, Ben menyambut Amir dengan senyum. Ben sangat mengenal semua wajah-wajah pelanggannya itu dengan baik.
Ben : Selamat pagi…
Amir : Ah.. kau ini. Tak perlu menyapa sesopan itu padaku.
Ben : Bawa teman (sambil menunjuk Rudi dengan kepalanya)
Amir : Ya. Ini perkenalkan teman saya, Rudi.
Ben : (menjulurkan tangan). Ben.
Rudi : Rudi (menjabat tangan Ben)
Ben : Mau pesan apa?
Amir : Café Latte, seperti biasa. Kamu mau pesan apa? (bertanya kepada Rudi)
Rudi : Samakan saja.
Amir : Kalau begitu café Latte dua, Ben.
Ben : Oke.
Ben kembali lagi dengan dua gelas café late di tangan.
Ben : Silakan diminum.
Rudi : Mari… (menatap Ben, lalu memandangi cangkirnya. Diteguknya café late itu)
Ben : Bagaimana?
Rudi : Hmm… enak.
Ben : (menyodorkan selembar kertas kecil bertuliskan: KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: CAFÉ LATE. ARTINYA: KEBERHASILAN ADALAH BUAH KERJA KERAS).
Rudi : Apa ini? (mengambil kertas itu dari tangan Ben, dan membacanya)
Amir : Itulah keunikan dari kedai ini. Setiap pengunjung akan mendapat kertas kecil yang bertuliskan filosofi kopi yang kita minum.
Ben : Benar yang dikatakan Amir. (sambil tersenyum)
Rudi : Hmm… (mengangguk-anggukan kepala)
Filosofi memang unik. Beda dengan kedai kopi kebanyakan. Dan inilah menjadi magnet tersendiri yang menarik para pengunjung berdatangan.
***
Sore itu, seorang pria perlente beusia 30 tahun-an datang dengan wajah bagai orang yang paling bahagia di dunia ini. Mimik muka seperti orang yang habis memenangkan undian satu miliar. Bambang Kusuma Ningrat, itulah namanya.
Bambang : Semua yang ada di sini, silakan kalian minum kopi sepuasnya. Saya traktir! (berteriak). Di kedai ini ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak? Kalau ada, saya pesan satu cangkir besar. (bertanya kepada Ben)
Ben : Silakan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.
Bambang : Barusan saya baca dan tidak ada yang artinya itu.
Ben : Yang mendekati mungkin?
Bambang : Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.
Ben : (menggaruk-garuk kepala)
Bambang : Berarti Anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan (menunjuk ke arah kaca jendela). Saya kemari karena saya ingin menemukan gambaran diri. Saya Bambang Kusuma Ningrat, salah satu pengusaha importir mobil yang sangat berpengaruh di Indonesia. Saya sekarang menantang Anda untuk membuat kopi yang sempurna. Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa berkata: hidup ini sempurna. Dan saya menawarkan imbalan 50 juta untuk itu.
Ben : Apa ini sebuah taruhan?
Bambang : Tenang saja. Ini bukanlah sebuah pertaruhan. Jika kamu bisa memenuhi keingananku, akan kuberi kau 50 juta. Namun jika kau tidak berhasil, tidak ada risikonya sama sekali buatmu.
Ben : Baik. Saya terima tantangan Anda.
Bambang : (tersenyum)
***
Suatu malam, ketika aku dan Ben tengah duduk di kursi bar sambil menikmati kopi masing-masing, seperti yang biasa kami lakukan. Tiba-tiba Ben memulai pembicaraan yang sepertinya dari tadi ingin ia sampaikan padaku.
Ben : Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.
Jody : Oh, ya? Tantangan apa? (sambil sibuk menghitung)
Ben : Dengar dulu baik-baik… (menggeser mesin hitung itu jauh-jauh ke ujung meja)
Jody : Iya.
Lalu ia menceritakan kejadian sore itu. Aku kaget. Namun jika ini tidak ada risikonya sama sekali, dan selama Ben bisa memenuhi keinginan orang itu. Ini akan menjadi keuntungan besar. 50 juta bukanlah nilai yang sedikit.
Setelah itu, Ben bekerja keras demi menghasilkan ramuan kopi yang sempurna. Ketika kedai tutup ia tetap sibuk di bar. Mencampur bahan ini dengan bahan itu.
***
Tiga minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, tiba-tiba Ben meneleponku, memaksaku untuk datang ke kedai.
Jody : Urusan apa yang segitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu sampai besok?
Ben : (menyodorkan gelas ukur yang berisi kopi). Coba cium…
Jody : (mendengus uap kopi itu). Wangi. Wangi sekali.
Ben : Coba minum.
Jody : Hmm… ini… Ben, kopi ini… (mengangkat wajah) SEMPURNA!
Ben & Jody : (saling berjabat tangan, dan tertawa)
Jody : Ini kopi paling enak!
Ben : …di dunia. Aku sudah keliling dunia untuk mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. Akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang SEMPURNA.
Jody : Mau diberi nama apa ramuan ini?
Ben : (diam sejenak, lalu tersenyum). BEN’s PERFECTO.

2.
Pagi sekali Ben menelepon penantangnya itu. Dan tepat pukul empat sore orang itu datang.
Ben : Silakan diminum. (menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto ke hadapan orang itu).
Bambang : (menyeruput kopinya). Hmm… hidup ini sempurna. Selamat kopi ini perfect. Sempurna.
Ben : (memberi kartu kecil bertuliskan. KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: BEN’s PERFECTO. ARTINYA: SUKSES ADALAH WUJUD KESEMPURNAAN HIDUP).
Bambang : (tertawa). Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini.
Kami membagikan sampel Ben’s Perfecto kepada semua pengunjung. Dan minuman ini mendapat sambutan yang luar biasa.
3.
Suatu pagi, datang seorang pria setengah baya (Pak Suwito) dengan tampilan sederhana, mengempit sebuah koran di lengan kanannya.
Jody : Selamat pagi. (tersenyum ramah)
Pak Suwito : Pagi. ( kemudian duduk). Bisa pesan kopinya satu, Dik?
Jody : Jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.
Pak Suwito : (tersenyum).
Jody : Silakan, Pak? Mau pesan yang mana? (menyodorkan daftar minuman)
Pak Suwito : Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak.
Jody : Ben! Perfecto satu! (berteriak kepada Ben)
Ben : (menyuguhkan satu sangkir Ben’s Perfecto)
Jody : Nah, yang ini bukan hanya sekadar enak, Pak. Tapi ini yang puaaaliiing… enak!
Ben : Bapak memang hobi minum kopi?
Pak suwito : Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. Aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. (Pak Suwito mengucapkannya dengan logat Jawa yang kental, lalu diteguknya kopi itu, meletakan cangkir, dan kembali membuka halaman korannya)
Ben : Bagaimana, Pak?
Pak Suwito : (mengangkat wajah). Apanya?
Ben : Ya, kopinya?
Pak suwito : Lumayan. (lalu melanjutkan membaca)
Ben : Lumayan bagaimana?
Pak Suwito : Ya, maksudnya lumayan enak toh, Dik.
Jody : Pak, yang barusan Bapak minum itu kopi yang paling enak di dunia.
Pak Suwito : Yang bener toh? Masa iya? (sambil tertawa kecil)
Ben : (menjukkan ekspresi yang tidak menyenangkan)
Pak Suwito : Aku bercanda kok, Dik. Kopinya uenak, uenak! Sungguh!
Ben : Memang Bapak pernah mencoba kopi yang lebih enak dari ini?
Pak Suwito : Tapi ndak jauh bedalah dengan yang Adik bikin.
Ben : Tapi tetap lebih enak, kan?
Pak Suwito : (melirik Jody, melirik Ben, kemudian mengangguk)
Ben : Di mana Bapak coba kopi itu?
Pak Suwito : Tapi… tapi… ndak jauh kok enaknya! Bedanya sedikiiit… sekali!
Ben : Di mana?
Pak Suwito : Wah. Jauh tempatnya, Dik.
Ben : DI-MA-NA? (meninggikan suara)
Belum pernah kulihat Ben seperti itu. Aku lebih memilih pergi melayani pelanggan yang sudah resah karena tidak dilayani. Tak lama kemudian Ben menghampiriku.
Ben : Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa beberapa perlengkapan untuk beberapa hari.
Jody : Ke mana?
Ben : (diam, dan tidak menjawab)
***
Siapa yang menyangka kalau sisa hariku akan dihabiskan untuk mengemudi, menyusuri jalan menuju pedesaan di Jawa Tengah. Ben yang tengah sibuk membolak-balikan peta minimalis yang digambar oleh bapak itu. Sudah larut malam kala itu.
Jody : Ben, sudah tambah gelap. Sepertinya kita tersesat. Cari penginapan saja dulu, besok pagi baru kita keluar lagi.
Ben : Ok. Kita kembali ke Klaten.
Keesokan paginya Ben mengambil alih kemudi.
Ben : Aku tahu kenapa kemarin kita tersesat. Ada satu belokan yang tidak kulihat semalam.
Jody : Ya. (menjawab malas)
Ben : (bertanya kepada seorang perempuan yang melintas). Mbak. Apa mbak tahu warung kopi yang enak di dekat sini?
Perempuan : Oh, barangkali yang sampean maksud itu warungnya Pak Seno?
Ben : Pokoknya di sana ada kopi yang enak sekali.
Perempuan : Oh, iyo, iyo! Pokoke warung Pak Seno mlaku terus rono1, tapi jalannya jelek lho Mas, alon-alon wae2.
Ben : terima kasih. (sambil buru-buru menginjak gas)
Perempuan : Jenenge3 kopi tiwus.
Ben : Apa? (menginjak rem sekaligus)
Perempuan : Kopi tiwus! Iki lho… aku juga baru dari sana. (menunjukkan isi bakul yang dibawanya)
Ben : Maaf Mbak, saya ambil sedikit ya… (meraup sedikit kopi dari bakul itu, sambil memberikan uang lima ribuan. (Ben menginjak gas kembali)
Perempuan : Maaas… limang ewu iki entuk sak bakuuul!4 (berteriak dari jauh)
Tepat di penghujung jalan, terlihat sebuah warung reot yang berdiri di atas bukit kecil. Di sekelilingnya tertanam pohon-pohon kopi.
Ben : Tidak mungkin… Tempat dengan ketinggian seperti ini bukanlah tempat ideal untuk ditanami kopi. Dan lihat mana ada petani kopi yang menanam dengan kuantitas sekecil ini.
Jody : Hmm… mana ku tahu.
Di dalam warung, seorang bapak tua menyambut kami dengan ramah.
Pak Seno : Dari kota ya, Mas?
Jody : (mengangguk). Dari Jakarta.
Pak Seno : Jauh sekali! (menggeleng-gelengkan kepala)
Ben : Kopi tiwusnya dua, Pak. (Ben menyela, lalu duduk di bangku panjang yang tersedia)
Pak Seno : Jarang-jarang ada orang Jakarta yang ke mari. Paling-paling dari kota-kota kecil dekat sini. (sambil mengambil dua gelas belimbing)
Jody : Bapak ini Pak Seno, ya?
Pak Seno : Iya. Kok biasa tahu toh?
Jody : Bapak terkenal sampai ke Jakarta. (bergurau, sambil melirik ke arah Ben yang sedang sibuk memperhatikan gerak-gerik Pak Seno membuat kopi)
Pak Seno : (tertawa). Walaaah, ya mana mungkin! (sambil menyajikan dua gelas berisi kopi tiwus). Gorengannya sekalian dicoba, Mas. Monggo.
Jody : (menyomot satu pisang goreng). Satu gelas harganya berapa, Pak?
Pak Seno : Kalau gorengannya 50 perak satu. Tapi kalau kopinya, sih, ya berapa saja terserah situ.
Ben : Kenapa begitu, Pak?
Pak Seno : Habis Bapak punya buanyaaak… sekali. Kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman begini, cuma-cuma juga ndak apa-apa. Tapi, orang-orang yang kemari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih 150 perak, 100, 200… ya, berapa sajalah.
Jody : Mari, diminum, Pak.
Pak Seno : Monggo. Monggo.
Ben ternyata sudah meneguk kopi itu. Lalu aku mengangkat gelas, siap meminum. Dan… Kami hanya saling terdiam menikmati teguk demi teguknya.
Pak Seno : Tambah lagi, toh?
Ben & Jody : (diam)
Pak Seno : (mengisi kembali kedua gelas mereka). Banyak sekali orang yang doyan kopi tiwus ini. Bapak sendiri ndak ngerti kenapa. Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin kangen… hahaha! Macem-macem! Padahal kalau kata Bapak sih biasa-biasa saja. Bapak ndak pernah ngutak-ngutik, tapi berbuah terus. Dari pertama tinggal di sini, kopi itu sudah ada. Kalau ‘tiwus’ itu dari nama almarhumah anak gadis Bapak. Waktu kecil dulu, tiap dia lihat bunga kopi di sini, dia suka ngomong ‘tiwus-tiwus’gitu.
Tiba-tiba Ben keluar. Duduk di bawah pohon besar di luar sana. Hari mulai sore. Aku menghampiri Ben.
Jody : Apa lagi yang kamu cari? Kita pulang sajalah.
Ben : Aku kalah.
Jody : Kalah dari apa? Tidak ada kompetisi di sini.
Ben : Berikan ini pada Pak Seno. (menyodorkan selembar kertas kecil)
Jody : (mengambil kertas itu dan membacanya). Kamu sudah gila! Tidak bisa!
Ben : Jo, kamu sendiri sudah mencoba rasa kopi tadi. Apa itu tidak cukup menjelaskan?
Jody : Oke, kopi itu memang unik. Lalu?
Ben : Kamu masih tidak sadar? Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku ke dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial! Aku malu pada diriku sendiri, pada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben’s Perfecto.
Jody : Gombal?
Ben : Dan kamu tahu apa kehebatan dari kopi tiwus itu? Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!
Jody : Coba ingat-ingat, rencana pengembangan Filosofi Kopi yang sudah kususun. Dan semuanya ini membutuhkan kertas ini sebagai modal.
Ben : Aku pensiun meramu kopi.
Jody : Kenapa kamu harus membuat urusan kopi ini menjadi kompleks. Romantis overdosis? Okelah, kamu cinta kopi, tapi tidak usah berlebihan. Pakai rasio…
Ben : Memang cuma duit yang kamu pikir! Profit, laba, omset… kamu memang tidak pernah mengerti arti kopi buatku. Ambil saja Filosofi Kopi. Kamu sama saja dengan laki-laki goblok sok sukses itu…
Jody : (menahan marah). Ben, kamu masih kalut. Jangan asal ngomong. Kita pulang ke Jakarta sekarang.
Ben : Berikan dulu itu ke Pak Seno.
Jody : Jangan tolol! Sampai kapan pun aku tidak akan kasih. Itu jelas bukan haknya, uang ini adalah hasil kerja kerasmu menciptakan Ben’s Perfecto.
Ben : Jo, ingat, uang itu hakku sepenuhnya.
Jody : Tidak lagi, ketika kita sepakat memasukkannya ke dalam kapital yang akan digunakan untuk pengembangan kedai.
Ben : Ambil saja bagianku di kedai. Aku serius.
Jody : Bukan begitu…
Ben : Kalau kamu memang sahabatku, jangan paksa aku apa-apa.
Aku hanya terdiam. Tak bisa berargumentasi lagi. Namun langkah gontai kami akhirnya menggiring kami ke dalam mobil. Kembali ke Jakarta.

4.

Kedai kami kini sepi. Tutup. Tak bernyawa. Mati. Para pelanggan sibuk menanyai kami tentang kedai yang tutup. Banyak surat-surat dan telepon yang masuk. Bahkan ada yang mengirimkan parsel, dikiranya Ben sakit. Tiba-tiba telepon bordering lagi. Telepon dari Amir.
Jody : Halo!
Amir : Halo. Bisa saya pesan café latte satu.
Jody : Oh, maaf. Filosofi Kopi sedang tutup.
Amir : Kenapa? Ini kan bukan hari libur?
Jody : Ben sedang tidak ingin berurusan dengan kopi untuk sementara waktu.
Amir : Apa Ben sakit?
Jody : Tidak.
Amir : Atau kalian sedang kesulitan keuangan. Saya bisa membantu, jika kalian butuh.
Jody : Oh, tidaaak… ini masalah internal.
Amir : Kalau begitu, saya doakan semoga masalah kalian cepat selesai. Kalau kalian butuh bantuan, jangan sungkan untuk menelepon saya. Saya Amir. Saya pelanggan setia kedai Anda. Anda bisa mencatat nomor telepon saya. (menyebutkan nomor telepon)
***
Ketika tengah malam, mataku terusik memandangi kantong plastik yang masih terikat yang terletak di pojok meja. Kopi tiwus. Lalu aku putuskan untuk membuat secangkir kopi tiwus. Sambil meneguk kopi tiwus, aku berpikir tentang sikapku terhadap Ben. Dan saat itu juga, kuputuskan untuk menemui Pak Seno besok.
Siang itu, terlihat Pak Seno sedang sibuk menumbuk biji kopi.
Jody : Selamat siang, Pak.
Pak Seno : Oh, siang Mas!
Jody : Saya pesan kopi tiwusnya satu.
Pak Seno : (segera menuju warungnya, membuatkan kopi tiwus). Ini kopinya, Mas.
Jody : Oh, ya. Terima kasih.
Setelah tegukan kopi tiwus yang terakhir, kutinggalkan cek itu di atas meja. Dan kuputuskan untuk langsung kembali ke mobil. Pergi dari sana.
***
Sekembalinya di Jakarta. Aku singgah di kedai untuk mengambil kunci rumahku yang tertinggal. Aku terkejut, melihat sosok Ben di sana, sedang duduk sendirian. Lalu aku ke dapur, kembali dengan membawakan secangkir kopi untuk Ben.
Jody : Ini! (menyodorkan kopi)
Ben : Tidak, terima kasih.
Jody : Jangan begitu. Kapan lagi aku yang cuma tahu menyeduh kopi sachet ini nekat membikinkan kopi segar untuk seorang barista?
Ben : (mengambil kopi dari tanganku. Lalu mencicipinya. Seketika air mukanya langsung berubah). Apa maksudnya ini?
Jody : (tidak menjawab. Memberikan sebuah kartu kepada Ben yang bertuliskan: KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: KOPI TIWUS. ARTINYA: WALAU TAK ADA YANG SEMPURNA, HIDUP INI INDAH BEGINI ADANYA). Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus… memberi sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran. (menarik napas, dan menghembuskannya panjang). Bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan bisa membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben’s Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.
Ben : Benar, kan? (tersenyum getir). Kita memang cuma tukang gombal.
Jody : Tapi masih banyak yang harus kamu pikirkan. Seperti ini… (menumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke atas meja). Orang-orang ini tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben’s Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya.
Ben : (mengambil salah satu surat dan membacanya. Tiba-tiba tangannya mencengkram bahuku). Uang itu?
Jody : Ada di tangan yang tepat.

Ratusan kilometer dari Jakarta…

Pak Seno : Mbok, mau ana sing njupuk kopi tiwus, aku dijoli iki…5 (menunjukkan selembar kertas)
Bu Seno : Iki opo6, Mas. (sambil menggaruk-garuk kepala)
Pak Seno : Aku ya ora ngerti…7 (mengangkat bahu)
Bu Seno : Ya wis, Mas, disimpen wae. Dienggo kenang-kenangan to.8
Pak Seno : (menganggukan kepala, lalu menyimpan kertas berisi angka-angka itu di bawah tumpukan baju dalam lemari pakaian).


1pokoknya warung Pak Seno jalannya lurus ke sana
2pelan-pelan saja
3namanya
4lima ribu ini untuk satu bakul
5tadi ada yang membeli kopi, aku diberi ini
6ini apa?
7aku tidak mengerti
8ya sudahlah, disimpan saja. Untuk kenang-kenangan kan

Naskah drama, karya Windi Eliyanti.
Diangkat dari cerpen Dewi Lestari(Dee)yang berjudul Filosofi Kopi.