Tampilkan postingan dengan label Cerpen Pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Pendek. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 April 2011

Romantisme Cinta

Gemerlap senja pancarkan mega di angkasa. Pantulan lampu neon menyentuh tubuh sang jendela. Menerawang dalam ingatan, saat pertama kali kita berjumpa. Kau acuh, melarikan pandangan dari mataku. Mungkin karena kau tidak mengenalku. Aku pun tak mengenalmu, dan aku tak mau tahu siapa kamu. Tapi kenapa kita sering bertemu, ahh.. mungkin itu hanya kebetuluan semata. Namun kenapa sekarang aku merasa ada sesuatu yang beda pada dirimu. Sesuatu yang membuatku rindu padamu. Itu kusadari saat ku pandang alismu, yang nampak seperti samurai, dan samurai itu kini telah menancap ke jantung hatiku.
Ingatkah kamu saat kejadian di taman dulu. Kau mainkan gitar, menembangkan lagu pop zaman sekarang. Sedikit ragu bercampur malu ku pandangi dirimu. Kau berbalik dan memergokiku yang sedang asyik menikmati wajahmu. Kau hanya tersenyum, reaksimu itu malah membuatku menjadi salah tingkah. Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk menyapamu, dan itulah kala pertama kita saling berkenalan.
Sejak perkenalan itu, aku selalu senang berada di taman. Karena di sanalah aku bisa menemukanmu, memegang gitar klasik, mengalunkan lagu-lagu mellow. Sambil berpura-pura membaca buku, kutatap lekat-lekat wajahmu. Berdegup kencang detak jantungku, setiap kali kupandang wajahmu. Nafas menjadi terengah-engah seperti pelari maraton. Wajah bersemu merah seperti mawar merekah. Seribu rasa bercampur aduk. Ini bukanlah cinta pada pandangan pertama seperti yang ditayangkan sinetron-sinetron zaman sekarang. Ini adalah cinta yang tumbuh perlahan, laksana siput yang hendak mencari makan.

Minggu, 05 Desember 2010

Gagak Hitam

Malam ini sunyi, sama seperti kemarin. Hanya nisan dan kamboja putih yang menemaniku. Angin menyapu bulu halusku, membuatku kedinginan. Ku kepakkan sayap, terbang menuju ke sebuah nisan yang masih baru, yang tanahnya masih merah, yang masih berselimut kembang tujuh rupa.
Kemarin sore kulihat banyak orang yang berpakaian serba hitam, menggotong aebuah keranda, membawa bangkai manusia ini. Entahlah mengapa mereka menangisi orang mati itu. Padahal si mati itu saja tak meminta mereka untuk menangisinya, atau bahkan tak sudi ditangisi oleh mereka. Mungkin, aku hanya menerka-nerka.
Aku melihat sendiri, ketika si mati ini sedang sekarat. Bagaimana susahnya ia melepas raga yang melekat, sungguh aku sendiri sampai merinding dibuatnya. Kudengar si mati ini sangatlah kaya, namun ia begitu kikir, susah berpisah dengan harta pusakanya. Setiap hari kerjanya hanya memikirkan bagaimana cara untuk menambah harta bendanya. Tak pernah memikirkan yang lain, hanya harta teman hidupnya. Mungkin ketika ajal itu datang, ia masih belum siap berpisah dengan harta-hartanya, sehingga membuat susah kematiannya.
Namun apa yang ia bawa sekarang, hanya selembar kain kafan. Segala harta yang ia kumpulkan semasa hidup tak bisa ia bawa. Tak bisa membahagiakan dirinya. Karena uang tidak bisa membeli sorga. Hanya iman dan pahala yang membuat orang bahagia di alam bakha.
Aku suka melihat manusia dengan segala keanehan dan keajaiban menjelang ajal mereka. Kau mungkin akan berpikir aku ini aneh. Entahlah, aku juga tak tahu kenapa aku menyukai hal itu. Mungkin karena keanehan ini aku mendapat julukan “Malaikat Maut”. Tapi sesungguhnya itu tidaklah benar, karena aku hanya seekor gagak hitam yang menyukai kematian dan ajal.

Kisah Seorang Haji-hajian

Dipagi yang masih kepagian
orang-orang sudah bangun dibangunkan
tak terkecuali seorang haji-hajian
yang bergaya sombong dengan penuh keangkuhan
Pelit adalah sifat yang dinomor 1-kan
sebab baginya, uang membuat orang lebih dipandang
kekayaan sangat banyak, namun iman masih dipertanyakan
sebab kerjanya hanya keluyuran
tidak pagi, tidak malam
Dia masih saja santai
karena mungkin belum ketahuan
oleh istrinya yang sangat pendiam
tapi mana tahu di belakang

Mungkin hanya itu yang bisa ku ceritakan
kisah tentang seorang haji-hajian

Nb: teruntuk “Om Haji yang Baik Hati”

Kisah Kakek dan Cucunya

Seperti biasa, lelaki tua itu duduk di teras rumahnya
ditemani secangkir kopi pahit
dan selinting tembakau dengan balutan daun kawung kering
tak lupa sepiring gorengan pisang yang masih hangat

Diteguknya kopi hitam itu
melewati kerongkongannya yang kering keriput
Mendengar kicauan burung gereja di tengah sawah
menikmati sejuknya udara pagi

Cucunya yang masih kecil datang mendekat
bermanja-manja dengan melemparkan senyum manisnya
membuat lelaki tua itu geli dan ikut tersenyum juga
batuk sesekali menyelangi canda tawanya
mungkin karena sekarang ia sudah renta

Ya, itu adalah kisah seorang kakek dengan cucunya
yang selalu tertawa, membangkitkan pagi menjadi lebih bergelora
yang selalu menyambut pagi dengan canda dan tawa

Senin, 27 September 2010

Rupa-Rupa Baunya =)

Hujan mengguyur FIS sore itu...
Kira-kira pukul 17.00 WIB, saat mengikuti MKU KWN
Bau semeriwing mengganggu penciumanku
Bau yang rupa-rupa baunya...

Bau ruang kuliah yang sumpek...
Bau debu yang enek...
Bau WC yang mampet...
...
hmmm....
Bau apalagi yaaa...
ohhh yaa....
Bau pipis wanita, pria, dan waria....

(HaHaHa.......)
;D

Cat: Tulisan di atas hanya untuk hiburan semata
Piiissssss......... =D