Kamis, 05 Mei 2011

Sikat Gigi



Sikat Gigi
[1999]


Terlihat sepasang manusia tengah asyik memandangi langit malam yang hitam. Egi dan Tio. Mereka sudah bersahabat sangat lama. Dan waktu itu mereka sedang berkunjung ke Puncak. Salah satu tempat wisata terkenal di Bandung.
Egi : Coba lihat. Langit begitu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang. Akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Indan, kan?
Tio : Apanya yang indah?
Egi : Kamu selalu saja, tidak bisa melihat keindahan. Dasar monokrom. Ekstra-terestrial.
Tio : Bukannya kamu lebih tahu itu daripada saya. Makanya, saya dengan senang hati mempersilakan kamu untuk menikmati malam terakhir kita di Puncak.
Egi : Alasan saja kau ini. (memukul badan Tio dengan bahunya)
Tio : Kamu kedinginan? (siap membuka jaket)
Egi : (melamun, tidak menjawab)
Tio : Ini akan menghangatkanmu (memakaikannya jaket)
***
Tio sangat mencintai Egi, tapi Tio tahu jika Egi mencintai laki-laki lain. Egi dan Tio tahu persis hal itu. Memang sulit bagi Egi untuk bisa lepas dari masa lalunya. Seorang pria bernama Raka telah mengambil sebagian jiwanya. Dua tahun yang lalu. Di sebuah kafe, tempat biasa yang sering Egi dan Raka datangi. Di meja yang sama.
Egi : Bagaimana kabar Ibumu? (memulai pembicaraan, sambil mengaduk-aduk jus jeruk yang ia pesan). Sudah baikkan?
Raka : Hmm… (menghembuskan napas panjang)
Egi : Aku mengerti, ini pasti sulit untukmu. Oleh karenanya kamu harus menjalani ini dengan ikhlas.
Raka : Ya. Aku tahu. (diam sejenak). Aku ingin membicarakan sesuatu.
Egi : Tentang apa?
Raka : Aku akan menikah. Tapi bukan denganmu…
Egi : (kaget). Kamu sedang bercanda?
Raka : Tidak. Aku serius. Minggu depan.
Egi : Tapi kenapa Raka? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu?
Raka : Tidak ada yang salah denganmu. Justru ini adalah kesalahanku. Karena aku sudah berjanji pada Ibuku. Dua minggu lagi Ibuku akan menjalani operasi. Dan ini adalah permintaannya. Aku telah dijodohkan dengan seorang perempuan, anak sahabat Ibuku. Aku tidak bisa menolaknya.
Egi : Tapi, apakah kamu mencintai dia?
Raka : Cinta sudah tak ada artinya lagi buatku. Karena sekarang yang paling penting adalah Ibuku. Maafkan aku Egi. (pergi meniggalkan Egi)
Egi : (matanya berkaca-kaca)
***
Di dalam ruang tengah, terlihat Tio yang sedang membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Ada Egi di sana. Mereka sudah cukup dewasa dan cukup dekat, sehingga Tio lagi canggung bila Egi terpaksa menginap di rumahnya.
Egi : Sudah lama kita tidak ke Puncak lagi. Terakhir kapan ya? (melewati Tio dengan menggenggam sikat gigi di tangan)
Tio : Enam minggu yang lalu? Waktu langit dan Bumi jadi satu.
Egi : Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengucapkannya sama datar dengan bilang 1+1=2…
Tio : (tidak menjawab)
Seperti biasa, Egi selalu lama bila menyikat gigi. Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti.
Tio : Egi, kenapa?
Egi : (berhenti berkumur, dan mematikan keran). Tio saya pulang ya. (sambil menghampiri Tio)
Tio : Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar kamu pulang. Saya malas keluar lagi.
Egi : (hampir menangis). Saya merasa tidak karuan.
Tio : Silakan kamu menangis sepuasnya. Saya janji akan diam. (menarik Egi duduk di sampingnya, kemudian melanjutkan membaca).
Egi : (diam sejenak). Tio… Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?
Tio : (tidak menjawab)
Egi : Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit…cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit Tio, tapi berarti banyak.
Tio : (masih tidak menjawab)
Egi : Kamu… pasti sebenarnya… sudah ingin ngomel-ngomel
Tio : Saya tetap masih tidak bisa mengerti. Tapi semuanya terserah kamu. (sambil menepuk-nepuk bahu Egi)
***
Malam ini adalah malam yang istimewa untuk Egi. Malam pesta ulang tahunnya yang ke-27. Banyak teman-temannya yang datang untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
Rani : Egi, selamat ulang tahun… (sambil memberi pelukan). Ini kado untukmu. (menyerahkan kado)
Egi : Terima kasih. Kamu datang dengan siapa?
Rani : Aku datang dengan Doni. Oh, iya di mana Tio?
Egi : Itu di pojokkan sana. Sedang berbicara dengan temannya.
Rani : Ooh… (sambil mengangguk-anggukan kepala). Eh, iya. Ini… (menyodorkan sebuah undangan.
Egi : Apa ini?
Rani : Itu adalah undangan pernikahanku dengan Doni. Jangan lupa datang.
Egi : Iya.
Rani : Ajak Tio juga yaaa…
Setelah bersenang-senang. Sekarang tinggalah kami berdua. Mata menerawang jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan pada hari seistimewa ini. Cepat-cepat aku menahannya sebelum ia sempat memasuki dunia antah berantah itu.
Tio : Ini hadiah untukmu.
Egi : (terkejut melihat kotak di hadapannya). Sejak kapan kamu kasih kado segala?
Tio : Usia 27 itu usia penting.
Egi : (membuka kotak itu, dan tertawa renyah)
Tio : Sikat gigi elektonik. Bergaransi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya… (menyodorkan sebuah buku kecil)
Egi : Tio. Saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi… kenapa sikat gigi?
Tio : Soalnya…ehm, soalnya… (terbata-bata)
Egi : (tersenyum menunggu jawaban)
Tio : Saya tidak penah mengerti dunia dalam lamunan kamu, pengharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itutiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu lebih lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa untuk berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu.
Egi : (terperangah, bahunya bergerak, siap menjauh)
Tio : Egi… jangan…
Egi : Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak mau membahas lagi persoalan ini. Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah… kamu tahu itu…
Tio : Kamu sahabat saya… sahabat terbaik…
Egi : (semakin menjauh)
Tio : Sampai kapan kamu akan terus mengharapkan dia! Orang yang tak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan untuk melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu.
Egi : Dia ingin datang. biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya. Ini namanya cinta sejati.
Tio : Itu bukan cinta sejati. Itu adalah kebutaan sejati. Kamu lebih memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah.
Egi : (menyentuh wajah Tio sekilas). Semoga suatu saat nanti kamu mengerti.
Itu adalah kata-kata terakhir Egi. Setelah percakapan itu, jembatan komunikasi di antara kami putus. Persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun kini hancur sudah.
Aku tidak pernah lagi berbicara dengan Egi. Dan sejak itu, aku putuskan untuk berusaha melupakan dia, walau itu sulit.
***
Sore itu, di kantin tempat Tio bekerja. Bella mendekati Tio yang sedang duduk sendirian.
Bella : Boleh saya duduk di sini?
Tio : Ya. Tentu.
Bella : Kulihat akhir-akhir ini kamu terlihat murung. Sedang ada masalah?
Tio : (tidak menjawab)
Bella : Ceritakan saja. Siapa tahu saya bisa membantu.
Tio : Terima kasih. Tapi saya sedang tidak ingin membicarakan hal ini.
Bella yang sejak dulu menaruh perhatian kepada Tio. Semakin berusaha mendekatinya. Terlebih setelah ia tahu kalau hubungan Tio dengan Egi sedang tidak baik. Ini akan menjadi kesempatan bagus untuknya.
Bella : Hei, jangan melamun terus. (menepuk punggung Tio)
Tio : (ekspresi terkejut)
Bella : Oh, maaf. Ini aku bawakan kamu sesuatu. (menyodorkan tempat makan berwarna biru).
Tio : Apa ini?
Bella : Itu bekal untukmu. Karena saya tahu belakangan ini kamu jarang sekali makan. Jadi saya sengaja membuatkanmu bekal. Itu ayam goreng buatan saya sendiri, semoga kamu suka.
Tio : Kenapa repot-repot segala.
Bella : Sama sekali tidak merepotkan kok. Saya justru sangat senang apabila kamu menerimanya. Terlebih jika kamu mau mencobanya.
Tio : Ya sudah. Nanti akan saya coba.
Bella : (tersenyum, lalu pergi menginggalkan Tio)
Bella jadi sering membawakan bekal untuk Tio. Tio pun sepertinya menyadari ada maksud tertentu di balik sikap Bella itu. Suatu hari Bella mengajak Tio untuk makan di luar.
Bella : Hari ini saya tidak membawakan bekal untukmu.
Tio : Oh, ya tidak apa-apa.
Bella : Saya sengaja kok. Karena saya ingin mengajakmu untuk makan di luar. Saya tahu tempat makan yang enak di dekat sini. Kamu tidak mau, kan?
Tio : Hmm… Ya sudah.
Bella : Pakai mobilku saja. Kamu yang mengemudi.
Tio : (mengangguk)
Sesampainya di restoran.
Pelayan : Selamat siang. Ini daftar menunya. (memberikan daftar menu)
Bella : Mau makan apa? (tanyanya pada Tio)
Tio : Terserah kamu saja.
Bella : Kalau begitu saya pesan iga bakar, dan ayam asam pedas manis. Minumnya es jeruk. (sambil mengembalikan daftar menu kepada pelayan)
Pelayan : Silakan tunggu sebentar.
Lima belas menit kemudian, pelayan itu kembali dengan makanan yang dipesan Bella.
Pelayan : Selamat menikmati. (tersenyum dan kemudian pergi)
Bella & Tio : (mengangguk)
Bella : Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan denganmu.
Tio : Bicara saja.
Bella : Kamu tentu sebenarnya sudah mengetahui hal ini.
Tio : (meletakan sendoknya). Ya, saya tahu.
Bella : Saya tidak akan pernah memaksa. Saya akan menerima jawaban apa pun yang akan keluar dari mulutmu. Walau pun itu pahit.
Tio : Bella. (memandang wajah Bella serius). Kamu tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tentang hubungan saya dengan Egi. Dan sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan dia.
Bella : Benar dugaan saya. Kamu masih mencintai Egi.
Tio : Maafkan saya Bella.
Bella : Tidak apa-apa. Saya bisa mengerti.
Tio : Tapi, kita bisa tetap menjadi sahabat, bukan?
Bella : Tentu. Seperti yang kubilang barusan. Saya akan menerima apa pun jawaban kamu. Saya tidak pernah menyesal untuk mengatakan ini kepadamu.
Tio : Terima kasih Bella. Kamu adalah wanita yang baik, cantik, pintar. Dan pasti di luar sana kamu akan mendapat seseorang yang lebih baik dari saya.
Bella : (tersenyum setengah dipaksa).
Mereka kini tetap bersahabat. Mengobrol di kantin seperti biasa. Atau terkadang Bella membawakan bekal untuk Tio.
***
Sekarang sudah hampir satu tahun aku tidak bertemu Egi. Sebenarnya bukan hal sulit untuk bertemu dengan Egi. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang tak pernah ku sadari.
Di taman, terlihat Egi sedang berbicara kepada anak kecil berusia sekitar 5 tahun.
Egi : Kenapa, Dik?
Anak kecil : Balon saya terbang (sambil menangis tersedu-sedu)
Egi : Nanti Kakak belikan lagi ya.
Anak kecil : Maunya balon yang itu (masih menangis)
Egi : Ya sudah, nanti Kakak akan belikan balon dengan warna yang sama. Memang balon Adik warnanya apa?
Anak kecil : Merah.
Egi : Adik tunggu di sini ya… (melangkah menuju penjual balon di ujung taman). Ini… (memberikan balon). Sekarang kamu jangan menangis lagi.
Anak kecil : Terima kasih, Kakak. (menghapus air mata dengan bajunya)
Egi : Iya. Sama-sama.
Sepuluh menit kemudian, Tio datang.
Tio : Egi…(berteriak dari kejauhan)
Egi : (berbalik)
Tio : (berlari lalu berlutut sambil memegang tangan Egi). Sebentar saja. Saya tidak lama.
Egi : (tidak berkata apa-apa)
Tio : Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Saya tetap Tio. Si monokrom-whatever yang melihat segalanya dengan tiga dimensi, bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu… (menatap mata Egi). Karena saya sudah mengalaminya sendiri. Kebutaan itu. Saya tahu sekarang, saya mencintaimu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. Tapi… karena saya juga mencintaimu di luar akal. Satu tahun saya menemukan banyak alternative yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah melibatkan saya. Dan saya tetap Tio, yang kalkulatif dan tidak mau rugi, tapi kali ini saya benar-benar tidak mengharapkan apa-apa. Saya hanya ingin mengatakan hal ini, dan… sudah. (berusaha bangkit, siap untuk pergi)
Egi : Mau ke mana? (memegang tangan Tio)
Tio : Jalan-jalan.
Egi : Ikut.
Tio : (tersenyum)
Mereka berdua berjalan menuju mobil Tio yang di parkir tak jauh dari taman. Mereka kembali akrab. Seolah-olah memang tidak terjadi apa-apa.
Egi : Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang selalu kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya… (menggenggam erat tangan Tio). Alam hati saya tidak mungkin dimengerti siapa-siapa. Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan. (diam sebentar, kemudian melanjutkan). Kamu hidup nyata saya, Tio. Dan saya tidak mau ke mana-mana lagi. Itu juga jika kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan…
Percakapan sore itu menjadi gerbang sebuah perjalanan baru yang pangjang untuk hubungan kami. Egi benar, banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak di beri kesempatan.

Naskah drama, karya Windi Eliyanti.
Diangkat dari cerpen Dewi Lestari(Dee)yang berjudul Sikat Gigi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar