Kamis, 29 September 2011

Naratologi

NARATOLOGI

Setiap karya sastra pasti memiliki cerita. Ceritalah yang menjadi tiang penyangga sebuah karya sastra, tanpa cerita dan penceritaan mungkin tak akan ada rekaman aktivitas kultural. Pernyataan ini sejalan dengan visi sastra kontemporer yang memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya. Masalah tentang konsep cerita dan penceritaan termasuk dalam kajian naratologi.
Sebelum jauh melangkah, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu definisi dari naratologi. Naratologi merupakan cabang dari Strukturalisme yang mempelajari struktur naratif dan bagaimana struktur tersebut mempengaruhi persepsi pembaca. Naratologi adalah usaha untuk mempelajari sifat ‘cerita’ sebagai konsep dan sebagai praktek budaya.
 Naratologi berasal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.
Mieke Bal (Hudayat, 2007) menyebutkan bahwa narator atau agen naratif didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu.
Marie-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk, 1993: 110- 114) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.     periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an)
2.     periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an)
3.     periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi- Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode strukturalis.
Pertama, Vladimir Propp. Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas tahun 1958. Propp (1987: 93-98) menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya sama.
Kedua, Levi-Strauss. Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu.
Ketiga, Tzvetan Todorov. Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan sjuzhet, Todorov (1985: 11-53) mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.
Keempat, A.J. Greimas. Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004: 137- 140) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku.
Bagaimana dengan dengan aplikasi terori strukturalisme naratologi dalam pengkajian sebuah karya sastra? Berkaitan dengan pertanyaan di atas, novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy merupakan salah satu novel yang pernah dikaji dengan menggunakan teori strukturalisme naratologi oleh Sri Mulyanti, Universitas Surkancana Cianjur. Dalam pengkajiannya, naratologi diberikan kebebasan, maksudnya naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra, melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia. Sebuah novel dianggap sebagai sebuah totalitas, suatu karya yang secara menyeluruh bersifat atristik sebagai teks naratif. Chatman membagi unsur struktur naratif menjadi dua bagian yaitu cerita dan wacana. Unsur cerita adalah apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif itu, sedang wacana adalah bagaimana cara melukiskanya (Nurgiyantoro, 2002: 26). Unsur cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaanya, eksistensinya. Peritiwa itu sendiri dapat berupa aksi (peristiwa yang berupa tindakan manusia) dan kejadian (perisiwa yang bukan hasil tindakan manusia). Dalam wujud eksisteninya unsur cerita terdiri dari tokoh dan latar. Wacana dipihak lain, merupakan saran untuk mengungkapkan isi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai konsep naratologi, yakni naratologi merupakan cabang dari Strukturalisme yang mempelajari struktur naratif dan bagaimana struktur tersebut mempengaruhi persepsi pembaca. Kajian naratologi dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra, seperti novel, roman, cerita pendek, puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratologi berasumsi bahwa, cerita adalah tulang punggung karya sastra. Di sisi lain, cerita juga berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Mulyanti, Sri. Tanpa Tahun. Dalam http://fkip.unsur.ac.id/jurnal/jurnal%20dinamika/ files/KAJIAN%20%20STRUKTURALISME%20%20%20NARATOLOGI.pdf. Universitas Suryakancana Cianjur. Diunduh pada tanggal 24 September 2011, pukul 15.11 WIB.
Yusuf Hudayat, Asep. 2007. Dalam http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/metode_penelitian_sastra.PDF. Universitas Padjajaran. Diunduh pada tanggal 22 September 2011, pukul 09.31 WIB.

Rabu, 28 September 2011

Strukturalisme Genetik


Strukturalisme Genetik

Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia, yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawks dalam Suwondo, 2001: 55-56). Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya. Dalam kesatuan hubungan tersebut, setiap unsur atau analisirnya tidak memiliki maknanya sendiri-sendiri, kecuali hubungan dengan analisir lain sesuai dengan posisinya di dalam struktur.
Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme murni yang anti historis dan kausal. Pendekatan strukturalisme juga dinamakan sebagai pendekatan objektif. Menyikapi yang demikian, Iswanto pernah mengutip pendapat Juhl (2001: 62) penafsiran terhadap karya sastra yang menafikan pengarang sebagai pemberi makna sangat berbahaya pemberian makna, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas , kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang dianut oleh pengarang. Secara gradual dapat dikatakan bahwa jika penafsiran itu menghilangkan pengarang dengan segala eksistensinya di dalam jajaran signifikan penafsiran. Objektifitas penafsiran sebuah karya sastra akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca di dalam penafsiran karya sastra.
Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman, seorang sastrawan yang berasal dari Perancis. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini mengoreksi pendekatan strukturalisme otonom dengan memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Genetik diartikan sebagai asal-usul karya sastra yang meliputi pengarang dan realita sejarah yang turut mendukung penciptaan karya sastra tersebut.
Kajian strukturalisme genetik ini, menggunakan data primer yang dimiliki oleh sebuah karya sastra. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah pustaka-pustaka yang ada relevansinya dengan kajian terhadap karya, yakni: karya fiksi dan nonfiksi, berbagai tulisan mengenai karya, dan usulan mengenai  karya serta buku-buku referensi yang dapat mendukung kajian terhadap karya. Menurut Faruk (2003: 12), Goldmann percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Sebagai struktur, karya sastra berarti tidak berdiri sendiri, banyak hal yang menyokong agar karya tersebut bisa menjadi satu bangunan yang otonom. Namun, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan lebih dulu mengaitkan dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur bukanlah suatu hal yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang terus berlangsung. Strukturalisme genetik mencoba mengaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial.
Ratna (2006:122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna. Setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas. Demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya. Untuk menghasilkan sebuah totalitas, Goldmann menawarkan metode dialektik yang pada prinsipnya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak mengintegrasikannya kedalam keseluruhan.
Menurut Goldmann (1977:8), metode dialektik termasuk metode yang khas, sehingga berbeda dengan metode positivistik. Metode positivistik menitikberatkan pada usaha pencarian hubungan antara sastra dengan faktor iklim, geografis, filsafat, dan politik. Sastra diperlukan sebagai fakta yang statusnya sama dalam penelitian ilmiah (Damono, 1984:18). Metode ini tidak mengadakan penelitian terhadap karya yang digunakan sebagai data. Karya dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosiokultural. Setiap unsur di dalamnya dianggap mewakili secara langsung unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Metode dialektik hanya mempergunakan karya yang bernilai sastra, karya yang kuat karena keseluruhan karya itu membentuk jaringan yang kohesif dari segala unsurnya. Yang berhubungan dengan unsur sosiokultural adalah keseluruhan unsur sebagai satu kesatuan (Junus, 1986:2). Namun, harus diakui bahwa dari segi titik awal dan titik akhir metode dialektik sama dengan metode positivistik, karena keduanya sama-sama berawal dan berakhir pada teks sastra. Adapun dalamnya dianggap mewakili secara langsung unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Adapun perbedaannya selain yang telah disebutkan di atas, metode positivistik tidak mempertimbangkan koherensi struktural, sedangkan metode dialektik memperhitungkan koherensi struktural itu (Goldman via Faruk, 1994:19). Bentuk operasional (cara kerja) metode dialektik yaitu secara bolak-balik antara teks dengan struktur sosial yang diteliti. Hal ini terjadi karena proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus tanpa bisa diketahui titik dalamnya dianggap mewakili secara langsung unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Metode dialektik hanya mempergunakan karya yang bernilai sastra, karya yang kuat karena keseluruhan karya itu membentuk jaringan yang kohesif dari segala unsurnya. Yang berhubungan dengan unsur sosiokultural adalah keseluruhan unsur sebagai satu kesatuan (Junus, 1986:2). Namun, harus diakui bahwa dari segi titik awal dan titik akhir metode dialektik sama dengan metode positivistik, karena keduanya sama-sama berawal dan berakhir pada teks sastra.
Bentuk operasional (cara kerja) metode dialektik yaitu secara bolak-balik antara teks dengan struktur sosial yang diteliti. Hal ini terjadi karena proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus tanpa bisa diketahui titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk 1994:20).

Struktur Karya Sastra
Goldman mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya, yang pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner.  Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Dari dua pendapatnya itu, Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik, yang memusatkan perhatian pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan demikian, Goldmann membedakan teks sastra dengan filsafat yang mengungkapkan pandangan dunia secara konseptual dan sosilogi yang mengekspresikan pandangan dunia secara empirisitas.
Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann itu terlihat pula pada konsepnya mengenai novel.  Berkaitan dengan pentingnya pendekatan strukturalisme genetik, Goldmann mengkaji dua hal yang dianggapnya saling bersangkutan, yakni cara meneliti novel (baca: teks sastra) itu sendiri dan hubungannya dengan sosio-budaya.

Pandangan Dunia
Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang, dan dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dalam rangka strukturalisme genetik, pandangan dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi mayarakat. Menurut Goldmann via Faruk (1999:15), pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lainnya. Selain itu, pandangan dunia juga merupakan kesadarn kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.

Penelitian dengan Metode Strukturalisme Genetik
Secara sederhana pendekatan strukturalisme genetik diformulasikan sebagai berikut. Pertama difokuskan pada kajian intrinsik karya sastra, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Kedua, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang, karena ia adalah suatu bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang ikut mengondisikan terciptanya karya sastra. Dari ketiga cara tersebut akan diperoleh abstraksi pandangan dunia pengarang yang diperjuangkan oleh tokoh problematik.
Sapardi Djoko Damono memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik sebagai suatu metode, yaitu:
1)      Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah bagian-bagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian itu, yang menyatukannya menjadi totalitas.
2)       Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya, tetapi hanya bukti adanya struktur.
3)      Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan struktural yang ada.
4)      Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat. Mereka menggunakan hukum perubahan bentuk.

Langkah-langkah penelitian dengan metode strukturalisme genetik yang ditawarkan oleh Laurenson dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman:
1.   Penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula diteliti strukturnya untuk membuktikan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
2.   Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra yang dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang dihubungkan dengan dunia pengarang.
3.   Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.

Pendekatan strukturalisme genetik memiliki nilai yang lebih daripada strukturalisme strukturalisme otonom. Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa selain menelaah struktur pembangun karya dari dalam, apresiator harus memasukkan faktor-faktor dari luar. Dengan ini diharapkan akan timbul sebuah kesadaran bahwa karya sastra diciptakan oleh pengarang dengan memadukan antara kreativitas dan faktor imajinasi yang tentunya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.


Daftar Pustaka

Irfan Fauzi, Arif. 2008. Strukturalisme Genetik. Dalam http://bahasa-sastra-indonesia.blogspot.com/2008/04/strukturalisme-genetik.html diunduh tanggal 08 Juni 2011.

Post Strukturalisme


POST STRUKTURALISME


Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan.
Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).
Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksinya " ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.
Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.
Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual bahasa dan makna secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.
Edward W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui dimensi sosial dan politis teks.
Kritik budaya oleh Hal Foster menandai peralihan dari modern menuju ke post modern. Peralihan ini melalui dua ide yang secara langsung diambil dari kritik sastra dan budaya Roland Barthes.  Beberapa orang akan beranggapan sulit untuk membedakan antara strukturalisme dan post strukturalisme. Dalam essainya “ ( Post ) Modern Polemics “ dia menghubungkan pekerjaan struktural dengan kestabilan dari komponen – komponen tanda, sedangkan teks poststrkturalisme mencerminkan pembubaran dari tanda dan pelepasan dari penanda. Kemudian Barthes menulis bahwa penanda mempunyai peluang untuk “ free play “ dan akhir yang berbeda – beda pada artinya, yang mana hal ini merupakan hasil rantai tak terbatas dari metafor.
Poststrukturalisme yang mana memulai kritikan dari tanda, mempertanyakan : apakah benar suatu tanda haya terdir dari dua bagian ( penanda dan yang ditandai ), atau apakah hal ini tidak targantung juga pada kehadiran semua penanda lainnya yang tidak berkaitan, dari mana hal itu brbeda?Terry Eagleton ( Teori Marxisme ) menunjukkan bahwa sementara strukturalisme membagi tanda – tanda tersebut dari hubungan ( objek berhubungan dengan ), maka poststrukturalisme melangkah lebih maju dan membagi penanda dari yang ditandai. Hasilnya dari pemikiran ini adalah : “ makna tidak secara tiba – tiba hadir dalam sebuah tanda “.
Cara lain untuk menandai peralihan dari masa strukturalisme menuju post strukturalisme adalah : pada tahun 1970 – an terjadi perubahan cara pandang bahasa secara objektif ( sebagai suatu objek yang independen dari subjek manusia ), cara pandang lama berubah menjadi melihat suatu bahasa sebagai percakapan dari suatu subjek. Menurut Eagleton percakapan berarti bahasa dipahami sebagai ungkapan. Dan dalam pengetahuan post strukturalisme mengenai hubungan antara pembicara dan penonton merupakan peran penting dalam dialog pada komunikasi linguistik.
Sebelum strukturalisme, tindakan interpretasi dilakukan untuk menemukan arti yang melibatkan tujuan pengarang dan pembaca. Strukturalisme tidak berusaha untuk memberikan makna sebenarnya dari pekerjaan tersebut atau untuk mengevaluasi pekerjaan tersebut berkaitan dengan aturan yang berlaku. Dalam poststrukturalisme, makna dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak penting.
Paradigma poststrukturalisme menimbulkan dua pertanyaan mengenai kegunaan post modern architecture, menurut Foster dalam “ ( Post ) Modern Polemic “ : status dari subjek dan bahasa, dan status dari sejarah dan perwakilannya. Keduanya merupakan gagasan yang terbentuk oleh sebagian masyarakat. Pada kenyataannya, objek dari kritik poststrukturalis adalah untuk mendemonstrasikan bahwa semua kenyataan diangkat oleh perwakilan itu sendiri.

Sumber:




Pendekatan Stilistika


Pendekatan Stilistika
Secara etimologis stylistics berkaitan dengan style (bahasa Inggris). Style artinya gaya, dengan demikian stylistics dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Enkvist dalam On Defining Style (1964) memberikan beberapa pengertian tentang gaya. Menurutnya ada tiga pandangan berbeda tentang gaya. Pertama, dilihat dari sudut penulis. Ini diperlihatkannya dengan mengutip ucapan Goethe, yaitu “dasar komposisi aktif yang digunakan oleh penulis untuk memasuki dan membedakan bentuk dalaman daripada subyek diceritakannya”. Ini bertentangan dengan peniruan begitu saja. Kedua, gaya dilihat sebagai cirri teks, yang dapat dilihat dengan mempelajari teks. Dan ketiga, pengertian gaya dihubungkan dengan kesan yang diperoleh khalayak.
Terdapat enam gaya yang diberikan Enkvist, yaitu: (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya; (2) pilihan diantara beragam pernyataan yang mungkin; (3) sekumpulan cirri pribadi; (4) penyimpangan norma atau kaidah; (5) sekumpulan cirri kolektif, dan (6) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat.
Stilistika ialah gaya seorang pengarang dalam menggunakan variasi bahasa dalam karya sastranya. Gaya setiap pengarang berbeda antara pengarang yang satu dengan yang lainnya.
Pendekatan stilistika bertolak pada asumsi bahwa bahasa mempunyai tugas dan peran penting dalam kehadiran karya sastra. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Keindahan sebuah karya sastra sebagian besar disebabkan oleh kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa sehingga menimbulkan kekuatan dan keindahan.
Kajian stilistika berasumsi bahwa “disiplin linguistik” dapat member sumbangan pada disiplin “kritik sastra”. Dan sebaliknya “kritik sastra dapat memberikan sumbangan pada “disiplin linguistik” (Widdowson, 1976: 11)
Disiplin            Linguistik                                       Kritik Sastra
                                                    Stilistika
Subjek             Bahasa                                             Sastra
Keterangan:
Stilistika bukanlah suatu disiplin seperti “linguistik” dan . “kritik sastra”; dan bukan pula suatu subjek (seperti ‘bahasa’ dan ‘sastra’). Ruang lingkup stilistika ialah bertindak sebagai suatu sarana untuk menjembatani ‘disiplin’ dan ‘subjek’.