Kamis, 28 April 2011

Mimpi

Menanak mimpi dengan bara semangat yang panas
Meniupkan asap malas, menerbangkannya hingga jauh
Mimpiku bukan ilusi
Tapi realita yang kelak ‘kan terjadi

Kutambah kayu kerja keras dan kutiupkan kembali bara semangatku
Agar tak padam menjadi kepulan asap khayalan
Mimpiku bukan api pada sebatang lilin, yang bisa mati hanya dengan sekali tiup
Tapi mimpiku adalah api unggun, yang tak mudah padam meski hujan turun

Mimpi…
Mimpi…
Mimpi…
Akan kutanak selalu mimpiku
Agar matang, hingga aku senang
Namun tak akan padam baraku
Karena akan kutanak kembali mimpi-mimpi baru...

Aku Jenuh...

Aku jenuh menapaki jalan yang berlumur dan berbatu
Penuh kerikil yang mengikis sepatuku sampai tipis
Hidup bersama mulut-mulut yang tak henti berkicau
Bersama wayang-wayang yang selalu bersandiwara

Aku jenuh hidup dengan kebohongan politik yang tak etis
Mengumandangkan janji obral janji yang tak pasti
Meski tahu kau tak kan menepati, tetap saja kupilih kau duduk di kursi tertinggi
Sebab tak ada pengaruhnya, aku memilih kau atau pun yang lain
Semua sama, sama-sama tak punya hati nurani
Sehingga yang kaya semakin kaya raya, dan yang miskin semakin melarat
Kau tidur dikasur yang nyaman, aku tidur di jalanan
Kau bisa makan apapun yang kau mau, aku makan apapun yang kutemu

Aku jenuh menyaksikan pidato murahanmu itu
Topeng dustamu itu tak bisa kau tutup-tutupi lagi
Karena aku sudah jenuh, ingin rasanya kumembunuh
Membunuh dirimu dan kroni-kronimu itu
Akan kubagikan dagingmu kepada anjing-anjing kampung yang kelaparan
Yang selalu menggonggong disetiap malam...

Romantisme Cinta

Gemerlap senja pancarkan mega di angkasa. Pantulan lampu neon menyentuh tubuh sang jendela. Menerawang dalam ingatan, saat pertama kali kita berjumpa. Kau acuh, melarikan pandangan dari mataku. Mungkin karena kau tidak mengenalku. Aku pun tak mengenalmu, dan aku tak mau tahu siapa kamu. Tapi kenapa kita sering bertemu, ahh.. mungkin itu hanya kebetuluan semata. Namun kenapa sekarang aku merasa ada sesuatu yang beda pada dirimu. Sesuatu yang membuatku rindu padamu. Itu kusadari saat ku pandang alismu, yang nampak seperti samurai, dan samurai itu kini telah menancap ke jantung hatiku.
Ingatkah kamu saat kejadian di taman dulu. Kau mainkan gitar, menembangkan lagu pop zaman sekarang. Sedikit ragu bercampur malu ku pandangi dirimu. Kau berbalik dan memergokiku yang sedang asyik menikmati wajahmu. Kau hanya tersenyum, reaksimu itu malah membuatku menjadi salah tingkah. Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk menyapamu, dan itulah kala pertama kita saling berkenalan.
Sejak perkenalan itu, aku selalu senang berada di taman. Karena di sanalah aku bisa menemukanmu, memegang gitar klasik, mengalunkan lagu-lagu mellow. Sambil berpura-pura membaca buku, kutatap lekat-lekat wajahmu. Berdegup kencang detak jantungku, setiap kali kupandang wajahmu. Nafas menjadi terengah-engah seperti pelari maraton. Wajah bersemu merah seperti mawar merekah. Seribu rasa bercampur aduk. Ini bukanlah cinta pada pandangan pertama seperti yang ditayangkan sinetron-sinetron zaman sekarang. Ini adalah cinta yang tumbuh perlahan, laksana siput yang hendak mencari makan.

Senin, 11 April 2011

Filosofi Kopi




Filosofi Kopi
[1996]

1.
Begitu banyak daun yang berguguran, hampir rontok pohon-pohon di pinggir jalan. Paris memang surga untuk para penggila fashion. Tapi, bukanlah parfum, baju, ataupun tas mewah yang dicari oleh pria blasteran Inggris itu. Melainkan, rahasia ramuan kopi para barista-barista terkenal di seluruh Paris. Dia bernama Ben. Berperawakan sederhana dengan tinggi semampai, berkulit putih, dan berambut hitam agak pirang.
Di sebuah kedai kopi, yang terletak di Jalan R. d’Arcole, yang bersebelahan dengan toko buku itu, nampak wajah Ben yang sedang kebingungan.
Ben : Pardon, je ne parle pas bien le Français. Est-ce que vous pouvez parle l’anglais? (Ben mengucapkannya terbata-bata. Sambil membolak-balik buku praktis berbahasa Perancis)
Manajer kafe : Oui, bien sûr. Of course, Sir. Can I help you?
Ben : Do you mind if I meet with the barista? I want to talk with him.
Manajer kafe : For what?
Ben : I just want to talk with him about coffee.
Manajer kafe : Hmm…Ok. But I only give you ten minutes. No more!
Ben : Yes. Thank you Sir.
Dengan wajah semringah, ia masuk ke dalam dapur, duduk di depan meja bar. Berbincang-bincang seperlunya dengan sang barista. Tentu Ben tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting.
Hal yang sama ia lakukan ketika singgah di Roma, Amsterdam, London, New York, dan Moskow. Sampai pada akhirnya dia kembali ke Indonesia dan siap membuka kedainnya sendiri.
***
Minggu pertama Ben dengan kafenya. Tak banyak pengunjung yang datang.
Ben : Selamat datang, Pak. Silakan duduk. Ini daftar menunya. (menyerahkan daftar minuman)
Pengunjung : Oh, ya…
Ben : Jadi, Bapak mau pesan apa?
Pengunjung : Saya pesan kopi tubruk satu.
Ben : Baik. Silakan tunggu sebentar. (Ben pergi menuju meja bar dan datang kembali menyodorkan kopi tubruk panas ke pengunjung tadi)
Pengunjung : Wah, cepat sekali. (Bapak itu setengah terkejut)
Ben : Di sini saya bekerja sendiri, Pak. Jadi saya harus bisa melayani para pelanggan dengan cepat. Lagi pula, pengunjung yang datang masih sedikit. Di sini hanya ada Bapak dan dua orang laki-laki di pojokan itu. (menunjuk dua orang laki-laki)
Pengunjung : Oh, begitu. Saya juga sebenarnya asal mampir saja ke sini. Kebetulan lewat, dan lihat kalau di sini ada kedai kopi. Jadi, saya putuskan untuk mampir sebentar.
Ben : Terima kasih Bapak sudah bersedia mampir ke kedai kecil saya.
Pengunjung : Ya. Sama-sama.
Ben : Silakan dicoba Pak kopinya!
Pengunjung itu siap menyeruput kopi tubruknya. Dan setelah cairan hitam itu masuk ke tenggorokannya, ia mengangkat kepala.
Pengunjung : Wah… enak ternyata kopinya. Pas.
Ben : Terima kasih atas pujiannya, Pak.
Pengunjung : Saya akan rekomendasikan kedai kamu kepada teman-teman saya.
Ben : Oh… terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. (Seketika Ben langsung menjabat tangan Pengunjung itu)
***
Sejak saat itu, kedai kopi Ben mulai dilirik banyak orang. Namun dengan fasilitas tempat yang masih sederhana membuat Ben berpikir untuk mengembangkan usaha kedainya. Ia pun mengajak salah satu teman baiknya untuk bergabung, menginvestasikan uangnya untuk kedai itu.
Ben : Jo, Aku punya ide tentang pengembangan kedai kopiku itu.
Jody : Apa ide kamu?
Ben : Aku akan mengubah dekorasi interior kedai, dan memperluas ruangannya. Melihat pengunjung yang sekarang jumlahnya semakin mengingkat, inovasi ini akan menambah keuntungan kedai. Dan untuk itu, kamu bisa menjadi partner bisnisku.
Jody : Maksud kamu?
Ben : Ya. Tentu kamu mau bukan mengivestasikan uangmu untuk kedai? Prospek ke depannya bagus, dan aku yakin kamu tidak akan menyesal melakukan ini.
Jody : Apa kamu yakin? Apa jaminannya?
Ben : Jody… jody… (sambil tertawa kecil). Kamu kan sudah lihat sendiri, berapa banyak pengunjung yang datang ke kedaiku. Kamu pasti bisa tahu, berapa pfofit yang bisa kamu dapat jika kamu bergabung denganku.
Jody : hmm… (mencoba berpikir). Akan kuberikan jawabannya besok.
Ben : Ok, kawan. Akan kutunggu sampai besok.
***
Keesokan harinya Jody menemui Ben di kedai.
Ben : Hei… selamat datang kawan. Apa kau sudah mengambil keputusan?
Jody : (sambil membuka isi tas, dikeluarkannya sebuah amplop). Ini adalah uang tabunganku, dan sekarang aku serahkan sepenuhnya kepadamu.
Ben : Kamu memang sahabat terbaikku. Akan kugunakan uang ini sebijak mungkin.
Jody : Ya. Aku percaya padamu.
***
Kedai itu kini bernama “Kedai Koffie BEN & JODY”.
Ben memang pecinta kopi sejati. Sampai-sampai Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuannya. Suatu ketika aku mendengar sayup-sayup Ben berkata pada salah seorang pengunjung perempuan yang duduk di bar.
Ben : Itu yang membuat saya mencintai minuman ini. Kopi itu sangat berkarakter. Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan. Anda tahu cappuccino ini adalah kopi yang pang genit?
Pengunjung1 : (tertawa kecil)
Ben : berbeda dengan café latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat seindah mungkin.
Pengunjung1 : Oh, ya?
Ben : Seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum. (sambil menjelaskan, Ben dengan terampil membentuk buih cappuccino yang terapung dicangkir itu menjadi bentuk hati yang cantik)
Tiba-tiba ada seorang pengunjung lain bertanya iseng.
Pengunjung2 : Bagaimana dengan kopi tubruk?
Ben : Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill untuk membuatnya. Tapi tunggu ketika Anda mencium aromanya. (Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk pada pengunjung itu). Silakan komplimen untuk Anda.
Pengunjung2 : (memegang cangkir, dan siap menyeruput kopi yang disodorkan Ben).
Ben : tunggu dulu. Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hirup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung Kilimanjaro.
Pengunjung2 : (menghirup aroma kopi tubruk tersebut, lalu mengangkat kepala dan tersenyum).
***
Ketika kedai tutup semua pulang. Sekarang tinggal aku dan Ben duduk di salah satu sudut ruangan itu.
Ben : Tidak terasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih. Sekian banyak orang yang datang dan pergi… dan kamu tahu apa kesimpulanku?
Jody : Kita akan kaya raya?
Ben : Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada di sini.
Jody : Di dalam daftar minuman ini? (sambil menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja.
Ben : (mengangguk)
Jody : Bagaimana bisa kamu mengkondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman? (sambil menatap geli kepada Ben). Ben.. Ben..
Ben : Jody… Jody… (sambil menggeleng-gelengkan kepala). Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menemukan dirinya di sini.
***
Setelah pembicaraan malam itu. Akhirnya Ben memutuskan mengubah nama kedai kami menjadi “FILOSOFI KOPI” (Temukan Diri Anda di Sini)
Ternyata nama kedai kami berikut slogannya menjadi sangat populer. Banyak pengunjung yang berdatangan. Mulai dari yang benar-benar pecinta kopi, sampai pengunjung yang hanya sekadar penasaran akan kedai kami.
Amir : Hey, Rudi. Temani saya ke Filosofi Kopi yuuk..
Rudi : Filosofi Kopi itu apa?
Amir : Ya, ampun… jadi kamu belum tahu Filosofi Kopi. Nih yaa… Filosofi Kopi itu nama sebuah kedai kopi. Tempatnya Asyik dan kopinya enak-enak.
Rudi : Ah..masa? (memasang muka ragu)
Amir : Makanya kamu harus ikut dengan saya.
Sesampainya di kedai, Ben menyambut Amir dengan senyum. Ben sangat mengenal semua wajah-wajah pelanggannya itu dengan baik.
Ben : Selamat pagi…
Amir : Ah.. kau ini. Tak perlu menyapa sesopan itu padaku.
Ben : Bawa teman (sambil menunjuk Rudi dengan kepalanya)
Amir : Ya. Ini perkenalkan teman saya, Rudi.
Ben : (menjulurkan tangan). Ben.
Rudi : Rudi (menjabat tangan Ben)
Ben : Mau pesan apa?
Amir : Café Latte, seperti biasa. Kamu mau pesan apa? (bertanya kepada Rudi)
Rudi : Samakan saja.
Amir : Kalau begitu café Latte dua, Ben.
Ben : Oke.
Ben kembali lagi dengan dua gelas café late di tangan.
Ben : Silakan diminum.
Rudi : Mari… (menatap Ben, lalu memandangi cangkirnya. Diteguknya café late itu)
Ben : Bagaimana?
Rudi : Hmm… enak.
Ben : (menyodorkan selembar kertas kecil bertuliskan: KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: CAFÉ LATE. ARTINYA: KEBERHASILAN ADALAH BUAH KERJA KERAS).
Rudi : Apa ini? (mengambil kertas itu dari tangan Ben, dan membacanya)
Amir : Itulah keunikan dari kedai ini. Setiap pengunjung akan mendapat kertas kecil yang bertuliskan filosofi kopi yang kita minum.
Ben : Benar yang dikatakan Amir. (sambil tersenyum)
Rudi : Hmm… (mengangguk-anggukan kepala)
Filosofi memang unik. Beda dengan kedai kopi kebanyakan. Dan inilah menjadi magnet tersendiri yang menarik para pengunjung berdatangan.
***
Sore itu, seorang pria perlente beusia 30 tahun-an datang dengan wajah bagai orang yang paling bahagia di dunia ini. Mimik muka seperti orang yang habis memenangkan undian satu miliar. Bambang Kusuma Ningrat, itulah namanya.
Bambang : Semua yang ada di sini, silakan kalian minum kopi sepuasnya. Saya traktir! (berteriak). Di kedai ini ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak? Kalau ada, saya pesan satu cangkir besar. (bertanya kepada Ben)
Ben : Silakan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.
Bambang : Barusan saya baca dan tidak ada yang artinya itu.
Ben : Yang mendekati mungkin?
Bambang : Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.
Ben : (menggaruk-garuk kepala)
Bambang : Berarti Anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan (menunjuk ke arah kaca jendela). Saya kemari karena saya ingin menemukan gambaran diri. Saya Bambang Kusuma Ningrat, salah satu pengusaha importir mobil yang sangat berpengaruh di Indonesia. Saya sekarang menantang Anda untuk membuat kopi yang sempurna. Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa berkata: hidup ini sempurna. Dan saya menawarkan imbalan 50 juta untuk itu.
Ben : Apa ini sebuah taruhan?
Bambang : Tenang saja. Ini bukanlah sebuah pertaruhan. Jika kamu bisa memenuhi keingananku, akan kuberi kau 50 juta. Namun jika kau tidak berhasil, tidak ada risikonya sama sekali buatmu.
Ben : Baik. Saya terima tantangan Anda.
Bambang : (tersenyum)
***
Suatu malam, ketika aku dan Ben tengah duduk di kursi bar sambil menikmati kopi masing-masing, seperti yang biasa kami lakukan. Tiba-tiba Ben memulai pembicaraan yang sepertinya dari tadi ingin ia sampaikan padaku.
Ben : Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.
Jody : Oh, ya? Tantangan apa? (sambil sibuk menghitung)
Ben : Dengar dulu baik-baik… (menggeser mesin hitung itu jauh-jauh ke ujung meja)
Jody : Iya.
Lalu ia menceritakan kejadian sore itu. Aku kaget. Namun jika ini tidak ada risikonya sama sekali, dan selama Ben bisa memenuhi keinginan orang itu. Ini akan menjadi keuntungan besar. 50 juta bukanlah nilai yang sedikit.
Setelah itu, Ben bekerja keras demi menghasilkan ramuan kopi yang sempurna. Ketika kedai tutup ia tetap sibuk di bar. Mencampur bahan ini dengan bahan itu.
***
Tiga minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, tiba-tiba Ben meneleponku, memaksaku untuk datang ke kedai.
Jody : Urusan apa yang segitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu sampai besok?
Ben : (menyodorkan gelas ukur yang berisi kopi). Coba cium…
Jody : (mendengus uap kopi itu). Wangi. Wangi sekali.
Ben : Coba minum.
Jody : Hmm… ini… Ben, kopi ini… (mengangkat wajah) SEMPURNA!
Ben & Jody : (saling berjabat tangan, dan tertawa)
Jody : Ini kopi paling enak!
Ben : …di dunia. Aku sudah keliling dunia untuk mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. Akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang SEMPURNA.
Jody : Mau diberi nama apa ramuan ini?
Ben : (diam sejenak, lalu tersenyum). BEN’s PERFECTO.

2.
Pagi sekali Ben menelepon penantangnya itu. Dan tepat pukul empat sore orang itu datang.
Ben : Silakan diminum. (menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto ke hadapan orang itu).
Bambang : (menyeruput kopinya). Hmm… hidup ini sempurna. Selamat kopi ini perfect. Sempurna.
Ben : (memberi kartu kecil bertuliskan. KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: BEN’s PERFECTO. ARTINYA: SUKSES ADALAH WUJUD KESEMPURNAAN HIDUP).
Bambang : (tertawa). Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini.
Kami membagikan sampel Ben’s Perfecto kepada semua pengunjung. Dan minuman ini mendapat sambutan yang luar biasa.
3.
Suatu pagi, datang seorang pria setengah baya (Pak Suwito) dengan tampilan sederhana, mengempit sebuah koran di lengan kanannya.
Jody : Selamat pagi. (tersenyum ramah)
Pak Suwito : Pagi. ( kemudian duduk). Bisa pesan kopinya satu, Dik?
Jody : Jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.
Pak Suwito : (tersenyum).
Jody : Silakan, Pak? Mau pesan yang mana? (menyodorkan daftar minuman)
Pak Suwito : Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak.
Jody : Ben! Perfecto satu! (berteriak kepada Ben)
Ben : (menyuguhkan satu sangkir Ben’s Perfecto)
Jody : Nah, yang ini bukan hanya sekadar enak, Pak. Tapi ini yang puaaaliiing… enak!
Ben : Bapak memang hobi minum kopi?
Pak suwito : Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. Aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. (Pak Suwito mengucapkannya dengan logat Jawa yang kental, lalu diteguknya kopi itu, meletakan cangkir, dan kembali membuka halaman korannya)
Ben : Bagaimana, Pak?
Pak Suwito : (mengangkat wajah). Apanya?
Ben : Ya, kopinya?
Pak suwito : Lumayan. (lalu melanjutkan membaca)
Ben : Lumayan bagaimana?
Pak Suwito : Ya, maksudnya lumayan enak toh, Dik.
Jody : Pak, yang barusan Bapak minum itu kopi yang paling enak di dunia.
Pak Suwito : Yang bener toh? Masa iya? (sambil tertawa kecil)
Ben : (menjukkan ekspresi yang tidak menyenangkan)
Pak Suwito : Aku bercanda kok, Dik. Kopinya uenak, uenak! Sungguh!
Ben : Memang Bapak pernah mencoba kopi yang lebih enak dari ini?
Pak Suwito : Tapi ndak jauh bedalah dengan yang Adik bikin.
Ben : Tapi tetap lebih enak, kan?
Pak Suwito : (melirik Jody, melirik Ben, kemudian mengangguk)
Ben : Di mana Bapak coba kopi itu?
Pak Suwito : Tapi… tapi… ndak jauh kok enaknya! Bedanya sedikiiit… sekali!
Ben : Di mana?
Pak Suwito : Wah. Jauh tempatnya, Dik.
Ben : DI-MA-NA? (meninggikan suara)
Belum pernah kulihat Ben seperti itu. Aku lebih memilih pergi melayani pelanggan yang sudah resah karena tidak dilayani. Tak lama kemudian Ben menghampiriku.
Ben : Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa beberapa perlengkapan untuk beberapa hari.
Jody : Ke mana?
Ben : (diam, dan tidak menjawab)
***
Siapa yang menyangka kalau sisa hariku akan dihabiskan untuk mengemudi, menyusuri jalan menuju pedesaan di Jawa Tengah. Ben yang tengah sibuk membolak-balikan peta minimalis yang digambar oleh bapak itu. Sudah larut malam kala itu.
Jody : Ben, sudah tambah gelap. Sepertinya kita tersesat. Cari penginapan saja dulu, besok pagi baru kita keluar lagi.
Ben : Ok. Kita kembali ke Klaten.
Keesokan paginya Ben mengambil alih kemudi.
Ben : Aku tahu kenapa kemarin kita tersesat. Ada satu belokan yang tidak kulihat semalam.
Jody : Ya. (menjawab malas)
Ben : (bertanya kepada seorang perempuan yang melintas). Mbak. Apa mbak tahu warung kopi yang enak di dekat sini?
Perempuan : Oh, barangkali yang sampean maksud itu warungnya Pak Seno?
Ben : Pokoknya di sana ada kopi yang enak sekali.
Perempuan : Oh, iyo, iyo! Pokoke warung Pak Seno mlaku terus rono1, tapi jalannya jelek lho Mas, alon-alon wae2.
Ben : terima kasih. (sambil buru-buru menginjak gas)
Perempuan : Jenenge3 kopi tiwus.
Ben : Apa? (menginjak rem sekaligus)
Perempuan : Kopi tiwus! Iki lho… aku juga baru dari sana. (menunjukkan isi bakul yang dibawanya)
Ben : Maaf Mbak, saya ambil sedikit ya… (meraup sedikit kopi dari bakul itu, sambil memberikan uang lima ribuan. (Ben menginjak gas kembali)
Perempuan : Maaas… limang ewu iki entuk sak bakuuul!4 (berteriak dari jauh)
Tepat di penghujung jalan, terlihat sebuah warung reot yang berdiri di atas bukit kecil. Di sekelilingnya tertanam pohon-pohon kopi.
Ben : Tidak mungkin… Tempat dengan ketinggian seperti ini bukanlah tempat ideal untuk ditanami kopi. Dan lihat mana ada petani kopi yang menanam dengan kuantitas sekecil ini.
Jody : Hmm… mana ku tahu.
Di dalam warung, seorang bapak tua menyambut kami dengan ramah.
Pak Seno : Dari kota ya, Mas?
Jody : (mengangguk). Dari Jakarta.
Pak Seno : Jauh sekali! (menggeleng-gelengkan kepala)
Ben : Kopi tiwusnya dua, Pak. (Ben menyela, lalu duduk di bangku panjang yang tersedia)
Pak Seno : Jarang-jarang ada orang Jakarta yang ke mari. Paling-paling dari kota-kota kecil dekat sini. (sambil mengambil dua gelas belimbing)
Jody : Bapak ini Pak Seno, ya?
Pak Seno : Iya. Kok biasa tahu toh?
Jody : Bapak terkenal sampai ke Jakarta. (bergurau, sambil melirik ke arah Ben yang sedang sibuk memperhatikan gerak-gerik Pak Seno membuat kopi)
Pak Seno : (tertawa). Walaaah, ya mana mungkin! (sambil menyajikan dua gelas berisi kopi tiwus). Gorengannya sekalian dicoba, Mas. Monggo.
Jody : (menyomot satu pisang goreng). Satu gelas harganya berapa, Pak?
Pak Seno : Kalau gorengannya 50 perak satu. Tapi kalau kopinya, sih, ya berapa saja terserah situ.
Ben : Kenapa begitu, Pak?
Pak Seno : Habis Bapak punya buanyaaak… sekali. Kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman begini, cuma-cuma juga ndak apa-apa. Tapi, orang-orang yang kemari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih 150 perak, 100, 200… ya, berapa sajalah.
Jody : Mari, diminum, Pak.
Pak Seno : Monggo. Monggo.
Ben ternyata sudah meneguk kopi itu. Lalu aku mengangkat gelas, siap meminum. Dan… Kami hanya saling terdiam menikmati teguk demi teguknya.
Pak Seno : Tambah lagi, toh?
Ben & Jody : (diam)
Pak Seno : (mengisi kembali kedua gelas mereka). Banyak sekali orang yang doyan kopi tiwus ini. Bapak sendiri ndak ngerti kenapa. Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin kangen… hahaha! Macem-macem! Padahal kalau kata Bapak sih biasa-biasa saja. Bapak ndak pernah ngutak-ngutik, tapi berbuah terus. Dari pertama tinggal di sini, kopi itu sudah ada. Kalau ‘tiwus’ itu dari nama almarhumah anak gadis Bapak. Waktu kecil dulu, tiap dia lihat bunga kopi di sini, dia suka ngomong ‘tiwus-tiwus’gitu.
Tiba-tiba Ben keluar. Duduk di bawah pohon besar di luar sana. Hari mulai sore. Aku menghampiri Ben.
Jody : Apa lagi yang kamu cari? Kita pulang sajalah.
Ben : Aku kalah.
Jody : Kalah dari apa? Tidak ada kompetisi di sini.
Ben : Berikan ini pada Pak Seno. (menyodorkan selembar kertas kecil)
Jody : (mengambil kertas itu dan membacanya). Kamu sudah gila! Tidak bisa!
Ben : Jo, kamu sendiri sudah mencoba rasa kopi tadi. Apa itu tidak cukup menjelaskan?
Jody : Oke, kopi itu memang unik. Lalu?
Ben : Kamu masih tidak sadar? Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku ke dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial! Aku malu pada diriku sendiri, pada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben’s Perfecto.
Jody : Gombal?
Ben : Dan kamu tahu apa kehebatan dari kopi tiwus itu? Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!
Jody : Coba ingat-ingat, rencana pengembangan Filosofi Kopi yang sudah kususun. Dan semuanya ini membutuhkan kertas ini sebagai modal.
Ben : Aku pensiun meramu kopi.
Jody : Kenapa kamu harus membuat urusan kopi ini menjadi kompleks. Romantis overdosis? Okelah, kamu cinta kopi, tapi tidak usah berlebihan. Pakai rasio…
Ben : Memang cuma duit yang kamu pikir! Profit, laba, omset… kamu memang tidak pernah mengerti arti kopi buatku. Ambil saja Filosofi Kopi. Kamu sama saja dengan laki-laki goblok sok sukses itu…
Jody : (menahan marah). Ben, kamu masih kalut. Jangan asal ngomong. Kita pulang ke Jakarta sekarang.
Ben : Berikan dulu itu ke Pak Seno.
Jody : Jangan tolol! Sampai kapan pun aku tidak akan kasih. Itu jelas bukan haknya, uang ini adalah hasil kerja kerasmu menciptakan Ben’s Perfecto.
Ben : Jo, ingat, uang itu hakku sepenuhnya.
Jody : Tidak lagi, ketika kita sepakat memasukkannya ke dalam kapital yang akan digunakan untuk pengembangan kedai.
Ben : Ambil saja bagianku di kedai. Aku serius.
Jody : Bukan begitu…
Ben : Kalau kamu memang sahabatku, jangan paksa aku apa-apa.
Aku hanya terdiam. Tak bisa berargumentasi lagi. Namun langkah gontai kami akhirnya menggiring kami ke dalam mobil. Kembali ke Jakarta.

4.

Kedai kami kini sepi. Tutup. Tak bernyawa. Mati. Para pelanggan sibuk menanyai kami tentang kedai yang tutup. Banyak surat-surat dan telepon yang masuk. Bahkan ada yang mengirimkan parsel, dikiranya Ben sakit. Tiba-tiba telepon bordering lagi. Telepon dari Amir.
Jody : Halo!
Amir : Halo. Bisa saya pesan café latte satu.
Jody : Oh, maaf. Filosofi Kopi sedang tutup.
Amir : Kenapa? Ini kan bukan hari libur?
Jody : Ben sedang tidak ingin berurusan dengan kopi untuk sementara waktu.
Amir : Apa Ben sakit?
Jody : Tidak.
Amir : Atau kalian sedang kesulitan keuangan. Saya bisa membantu, jika kalian butuh.
Jody : Oh, tidaaak… ini masalah internal.
Amir : Kalau begitu, saya doakan semoga masalah kalian cepat selesai. Kalau kalian butuh bantuan, jangan sungkan untuk menelepon saya. Saya Amir. Saya pelanggan setia kedai Anda. Anda bisa mencatat nomor telepon saya. (menyebutkan nomor telepon)
***
Ketika tengah malam, mataku terusik memandangi kantong plastik yang masih terikat yang terletak di pojok meja. Kopi tiwus. Lalu aku putuskan untuk membuat secangkir kopi tiwus. Sambil meneguk kopi tiwus, aku berpikir tentang sikapku terhadap Ben. Dan saat itu juga, kuputuskan untuk menemui Pak Seno besok.
Siang itu, terlihat Pak Seno sedang sibuk menumbuk biji kopi.
Jody : Selamat siang, Pak.
Pak Seno : Oh, siang Mas!
Jody : Saya pesan kopi tiwusnya satu.
Pak Seno : (segera menuju warungnya, membuatkan kopi tiwus). Ini kopinya, Mas.
Jody : Oh, ya. Terima kasih.
Setelah tegukan kopi tiwus yang terakhir, kutinggalkan cek itu di atas meja. Dan kuputuskan untuk langsung kembali ke mobil. Pergi dari sana.
***
Sekembalinya di Jakarta. Aku singgah di kedai untuk mengambil kunci rumahku yang tertinggal. Aku terkejut, melihat sosok Ben di sana, sedang duduk sendirian. Lalu aku ke dapur, kembali dengan membawakan secangkir kopi untuk Ben.
Jody : Ini! (menyodorkan kopi)
Ben : Tidak, terima kasih.
Jody : Jangan begitu. Kapan lagi aku yang cuma tahu menyeduh kopi sachet ini nekat membikinkan kopi segar untuk seorang barista?
Ben : (mengambil kopi dari tanganku. Lalu mencicipinya. Seketika air mukanya langsung berubah). Apa maksudnya ini?
Jody : (tidak menjawab. Memberikan sebuah kartu kepada Ben yang bertuliskan: KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: KOPI TIWUS. ARTINYA: WALAU TAK ADA YANG SEMPURNA, HIDUP INI INDAH BEGINI ADANYA). Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus… memberi sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran. (menarik napas, dan menghembuskannya panjang). Bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan bisa membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben’s Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.
Ben : Benar, kan? (tersenyum getir). Kita memang cuma tukang gombal.
Jody : Tapi masih banyak yang harus kamu pikirkan. Seperti ini… (menumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke atas meja). Orang-orang ini tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben’s Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya.
Ben : (mengambil salah satu surat dan membacanya. Tiba-tiba tangannya mencengkram bahuku). Uang itu?
Jody : Ada di tangan yang tepat.

Ratusan kilometer dari Jakarta…

Pak Seno : Mbok, mau ana sing njupuk kopi tiwus, aku dijoli iki…5 (menunjukkan selembar kertas)
Bu Seno : Iki opo6, Mas. (sambil menggaruk-garuk kepala)
Pak Seno : Aku ya ora ngerti…7 (mengangkat bahu)
Bu Seno : Ya wis, Mas, disimpen wae. Dienggo kenang-kenangan to.8
Pak Seno : (menganggukan kepala, lalu menyimpan kertas berisi angka-angka itu di bawah tumpukan baju dalam lemari pakaian).


1pokoknya warung Pak Seno jalannya lurus ke sana
2pelan-pelan saja
3namanya
4lima ribu ini untuk satu bakul
5tadi ada yang membeli kopi, aku diberi ini
6ini apa?
7aku tidak mengerti
8ya sudahlah, disimpan saja. Untuk kenang-kenangan kan

Naskah drama, karya Windi Eliyanti.
Diangkat dari cerpen Dewi Lestari(Dee)yang berjudul Filosofi Kopi.

Jumat, 08 April 2011

Maaf, kasih...

Aku tak tahu harus memulainya dari mana?
Aku tak tahu harus bicara apa padamu?

Aku mohon maaf atas kesalahan yang pernah kuperbuat
Aku mohon maaf karena tak bisa menjadi sempurna yang yang kau pinta

Kumencitamu, lebih dari apapun
Cintaku tulus, suci untukmu
Percayalah padaku

Aku mohon maaf atas kesalahan yang pernah kuperbuat
Aku mohon maaf karena tak bisa menjadi sempurna yang yang kau pinta

Inilah aku, bukan yang lain
Bukannya dia, bukan mereka
Terimalah apa adanya

Aku mohon maaf atas kesalahan yang pernah kuperbuat
Aku mohon maaf karena tak bisa menjadi sempurna yang yang kau pinta

Sebuah Kata

Sebuah kata yang tak pernah aku pikirkan
Sebuah kata yang akan menjadi pemisah di antara kita
Sebuah kata yang pasti akan menjauhkan kita
Sebuah kata yang akan menghapus kasih
Sebuah kata yang mengiris hati
Sebuah kata yang menyayat janji
Sebuah kata yang hapuskan mimpi
Sebuah kata dari luapan emosi
Sebuah kata yang semoga tak akan pernah kau ucapkan (lagi)
Sebuah kata yang semoga tak akan pernah kuutarakan (lagi)
Sebuah kata yang terdiri dari lima huruf, dua suku kata, sebuah nomina…
Aku benci sebuah kata (itu)!!!